Minggu, 27 November 2011

SEJARAH PERTANIAN


PETANI DAN KONFLIK AGGRARIA

Judul Buku : Petani dan Konflik Agraria
Pengarang : Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni
Penerbit : Akatiga
Kota terbit : Bandung
Tahun terbit : 1998
Tebal : xxii + 214 halaman
Masalah Agraria dan Potensi Petani
Tanah, dalam system social, ekonomi, politik dianggap sebagai factor produksi utama. Yang membedakan dari masing-masing unsure tersebut adalah fungsi, mekanisme pengaturan dan cara pandang terhadap tanah itu sendiri. Pemilikan maupun penguasaan tanah merupakan factor penting dalam setiap masyarakat, apapun model system social-ekonomi-politik yang dianut didalamnya.
Pentingnya penguasaan tanah bagi masyarakat dengan sendirinya akan mendorong munculnya upaya untuk mempertahankan hak-hak atas tanah dari setiap intervensi pihak luar. Hal ini menimbulkan konflik yang terjadi antara pihak-pihak terkait. Dalam buku Petani dan Konflik Agraria ini menganalisis konflik agraria pedesaan yang terjadi di Indonesia pada tiga periode, yaitu masa prakemerdekaan (colonial dan pra colonial), masa pascakemerdekaan (sejak kemerdekaan sampai peralihan ke Orba), dan masa Orde Baru dengan tekanan konflik-konflik yang melibatkan petani dan pihak-pihak lain. Penekanan pada masa orde baru yang banyak disertai dengan artikel-artikel dari keliping Koran.
Petani, Kapitalisme, dan Konflik Agraria
Petani : Antara Moral dan Rasional
Menurut Scott: Prinsip “norm of reciprocity” dan jaminan subsistensi (petani subsisten : menunjuk pada rumah tangga petani yang mengerjakan suatu lahan kecil untuk dikonsumsi sendiri) minimal berada pada hubungan social yang pantas, wajar dan adil yang menggambarkan kehidupan ekonomi petani secara normative. Menurut George Stuart, salah satu pola hubungan itu adalah sikap inti dan hormat terhadap tanah yang menganggap pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang baik dan kegiatan komersil sebagai pekerjaan yang tidak terlalu baik.
Dalam teori ekonomi dualisme Boeke (dua pola ekonomi : tradisional dan modern), menilai bahwa nilai dan sikap “limited needs” merupakan prinsip moral yang berlaku umum di kalangan petani Jawa. Menggarap sawah tidak dianggap sebagai kegiatan ekonomi untuk mencari keuntungan tetapi sekedar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Menurut Wolf, ada kecenderungan petani akan menghentikan usahanya berproduksi begitu kebutuhan subsistensinya terpenuhi. Sedangkan, Popkins lebih mengakui adanya rasionalitas petani. Petani adalah “homo oekonomicos” yang akan terus berusaha memaksimalkan sumber daya dan kemakmuran sendiri tanpa memperdulikan moral pedesaan seperti pendapat Scoot. Menurut Hayami dan Kikuchi, pada masyarakat petani berlaku prinsip moral dan rasional ketika akan mencari keuntungan.
Ada tiga indicator yang dipakai untuk memahami pola subsistensi petani, yaitu :
1. Sikap atau cara petani memperlakukan factor-faktor produksi yakni tanah dan sumber daya agraria
2. Besar kecilnya skala usaha petani
3. Jenis komoditas yang dibudidayakan petani
Konsep tentang petani subsisten merupakan kunci utama dalam menganalisis persoalan konflik agrarian di Indonesia. Asumsi sementara yang akan menjadi alatanalisis memahami fakta sempitnya skala usaha petani adalah realitas terjadinya proses ketimpangan struktur penguasaan tanah , khususnya di Jawa, yang semakin tajam dalam dua dasawarsa (1973-1993). Ketimpangan struktur penguasaan tanah yang semakin tajam ditunjukan dengan perubahan secara berlanjut yakni semakin menyempitnya skala usaha tani dan meningkatnya jumlah tunakisma. Menurut Kano ada dua factor yang menyebabkan adanya perbedaan yang jelas dan menentukan munculnya petani tunakisma di masyarakat pedesaan Jawa, yaitu factor demografi yakni tingginya man land ratio dan factor ekonomi yakni komersialisasi pertanian.
Ketimpangan penguasaan tanah yang terjadi menyebabkan kondisi tidak meratanya tanah yang bisa diakses petani untuk berproduksi. Kemampuan berproduksi menjadi indicator dari sikap petani yang lebih mengutamakan kebutuhan konsumsinya sendiri agar terpenuhi dahulu daripada mencari keuntungan dan surplus yang dapat dihasilkan dari keterbatasan factor produksi yang dimilikinya.
Petani dan Kapitalisme Agraria
Perkembangan Mode Produksi dan Konflik Agraria
Peran actor-aktor yang berkepentingan tehadap sumber daya tanah menjadi penyebab munculnya konflik agraria. Pemahaman mengenai cara system dan proses produksi kemudian menganalisis deskriptif dari data berupa kasus-kasus yang kemungkinan tibul dari perkembangan mode produksi. Tanah tidak hanya dipandang sebagai factor produksi tetapi juga merupakan asset penting bagi aktivitas manusia.
Pada masa feodalisme atau prakapitalis, raja menggarap tanah hanyalah symbol otoritas. System ini pada prinsipnya mengutamakan hubungan yang erat antara raja dan tuan-tuan tanah dalam mengurus Negara. Di Indonesia system feodalisme muncul pada zaman Hindu. Di Jawa penguasaan tanah tidak begitu menentukan sebagai dasar hubungan antara rakyat dan raja. Kekuasaan para bangsawan lebih berdasarkan pada jumlah cacah yang sesuai dengan prinsip bersatunya kawula dan gusti sehingga dalam struktur masyarakatnya terlihat pengelompokan menurut kelas tertentu seperti priyayi dan rakyat biasa.
Sumber-sumber ekonomi secara politis dikuasai feudal dan petani hanya sebagai penggarap dengan berbagai kewajiban kepada raja yang bersfat mengikat. Akibatnya sering terjadi konflik antara raja (bangsawan) dan rakyat yang menggarap tanah hasil pemberian raja. Mode produksi feudal ini sangat mempengaruhi kriteria konflik-konflik yang muncul seperti bentuk, level, intensitas maupun ukuran konflik. Bentuk konflik yang muncul bersifat horizontal dan vertical, yakni implikasi dari adanya penguasa tunggal atas tanah. Bagi petani yang seluruh hidupnya tergantung dari hasil tanah garapan, tanah dianggap sebagai pusaka (heirloom land) dan tidak sekedar symbol apalagi mata dagangan (commodity).
Perubahan fungsi tanah dari alat produksi untuk konsumsi si penggarap menjadi alat alat untuk mencapai surplus maksimal menyebabkan tingkat eksploitasi tinggi pada factor produksi yakni tanah dan tenaga kerja (penggarap). System ekonomi semacam ini disebut sebagai kapitalisme. Cirri khas kapitalisme adalah penguasaan modal oleh kapitalis, sementara tanah dan tenaga kerja sebagai factor produksi terpisah satu sama lain. Di Indonesia munculnya kapitalisme sebagai bentuk dari kolonialisme asing.
Pada masa colonial, perkembangan mode produksi kapitalis mencapai puncaknya pada masa liberal atau penanaman modal. Kebijakan pemerintah colonial dengan mengubah tanah-tanah komunal menjadi milik persorangan memposisikan tanah dari factor produksi menjadi sumber penumpukan capital dan investasi para pemodal swasta. Pengutuban antara rakyat sebagai buruh di satu pihak dan pemilik modal swasta asing dan Negara di lain pihak menyebabkan munculnya konflik-konflik agraria yang bersifat structural.
Perubahan politik yang terjadi dengan berakhirnya masa colonial di Indonesia, ikut mengubah mode produksi agraria dari kapitalis colonial menjadi populis. Mode produksi populis ini menempatkan tanah, tenaga kerja, pengambilan keputusan mengenai proses produksi, akumulasi dan investasi capital di tangan keluarga petani. Dalam system ini, pengakuan hak individu atas tanah-tanah sangat jelas tanpa mengabaikan fungsi tanah secara social. Kekuatan politik masyarakat yang dikutsertakan dalam program-program agraria yang bersifat populis tampak dari lahirnya UUPA 1960 dan pelaksanaan land reform. Konflik-konflik tanah yang sifatnya internal dan bentuknya horizontal muncul mewarnai perkembangan mode produksi populis yakni antara buruh tani dan petani-petani kecil melawan tuan-tuan tanah, petani-petani kaya dan penguasa-penguasa perkebunan.
Perubahan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru telah membawa akibat pada terjadinya perubahan system politik. Salah satunya adalah perubahan strategi agraria (neo) populis menjadi strategi agraria kapitalis melalui ideology pembangunan (developmentalisme) yang terkait erat dengan system kapitalisme dunia. Struktur politik agraria kapitalis di masa Orde Baru yang menekankan pada eksploitasi sumber-sumber daya agraria untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi telah jelas mengubah tanah dan petani dari asset menjadi sumber eksploitasi capital.
Perubahan mode produksi ke proses akumulasi capital inilah yang menimbulkan konflik tanah sepanjang Orde Baru yang bersumber darikegiatan pengambilan tanah-tanah rakyat oleh pemodal dan atau Negara. Pengambilalihan tanah-tanah ini terlihat dari banyaknya kasus penggusuran tanah disektor dan subsektor pembangunan, seperti kehutanan, perkebunan, pertanian, industri dan pariwisata.
Dilihat dari sistematika mode produksinya, mode produksi masa kolonial dan Orde Baru memiliki kesamaan yaitu keduanya merupakan system yang sangat eksploitatif dalam memanfaatkan factor-faktor produksi. Perbedaan yang terlihat dari siapa actor dan apa peran yang dimainkan dalam mode produksi capital tersebut serta motivasi-motivasi petani melakukan “pemberontakan”. Penyebab konflik tanah dalam mode produksi capital tersebut adalah kepentingan yang sama atas sumber daya tanah.
Kondisi Petani Akibat Merasuknya Kapitalisme Agraria di Pedesaan
Di Indonesia, perkembangan komersialisme pertanian melalui program revolusi hijau merupakan salah satu fakta yang jelas sebagai indicator masa saat petani mulai mengenal inovasi teknologi yang mampu menghasilkan surplus produksi. Dampak pengaruh kapitalisme kepada masyarakat pedesaan yang sangat jelas terlihat dari proses hilangnya kemandirian petani dalam mengusahakan system produksinya. Tujuan dan orientasinya adalah merasionalkan semua kegiatan petani agar mampu menghasilkan keuntungan dengan berbagai inovasi baru di bidang pertanian.
Situasi ini semakin memperbesar stratifikasi petani dan mendesak petani ke posisi yang terpecah-pecah tanpa memiliki perlindungan dari lembaga-lembaga tradisional mereka. Adanya perubahan system pembagian pendapatan di kalangan petani, diantaranya : dari System bawon : system upah secara natura dari pekerjaan menuai padi yang terbuka bagi seluruh penduduk desa dan menurut tradisi jumlah orang yang ikut memanen tidak dibatasi. Dalam system ini baik pemilik lahan maupun buruh merasa aman dan diuntungkan. Berubah menjadi System tebasan : petani menjual padi yang masih ditanam kepada penebas beberapa hari sebelum panen. Karena dalam perananya sebagai penebas bebas dari kewajiban tradisional, tengkulak mempekerjakan sedikit orang untuk memanen dengan upah kontan dan dengan peralatan sabit sehingga biaya dapat dikurangi. Dengan masuknya teknologi baru menyebabkan petani komersil cenderung mengabaikan kewajiban-kewajiban tradisional tentang pemerataan kerja dan pendapatan bagi penduduk miskin di desa.
Pola-pola hubungan patron-klien ditemukan hampir di semua masyarakat petani. Namun meningkatnya kemiskinan di desa telah memaksa petani untuk mencari perlindungankepada warga yang bukan kerabat, yang menyebabkan timbulnya kelas patron. Kemunculan kelas ini menempatkan petani pada posisi yang serba tidak menguntungkan.
Ancaman terhadap subsistensi petani tidak hanya disebabkan semakin merasuknya kapitalisme ke pedesaan, tetapi juga disebabkan tataran yang lebih besar yaitu berkembangnya kekuasaan Negara melalui kebijakan-kebijakannya yang mengakibatkan akses petani terhadap sumber daya semakin terbatas. Kebijakan-kebijakan tersebut mendorong terjadinya kapitalisme agraria. Dalam kapitalisme agraria terjadi suatu perubahan pemilikan factor produksi dari petani kepada kelas pemilik modal. Demikian pula ideology pembangunan yang sangat dipengaruhi teori modernisasi yang lebih menekankan atau mendorong tumbuhnya sector “modern” mengakibatkan semakin terdesaknya sector “tradisional” yang merupakan kelompok retan di pedesaan.
Konflik Agraria dan Reaksi Petani
Konflik agraria terjadi ketika subsistensi petani sebagai pengelola sumber daya agraria berikut pola penguasaannya terancam dengan tergangguanya tata produksi oleh intervensi capital ke dalam masyarakat. Aksi protes, kekerasan dan perusakan terhadap produk capital merupakan cara manifest yang akhir-akhir ini mewarnai peta konflik agraria di Indonesia.
Intervensi system kapitalisme ke pedesaan telah menimbulkan benturan dan begitu banyak perubahan di semua aspek kehidupan petani. Konflik, kesenjangan social, dan munculnya reaksi atau gerakan petani merupakan beberapa indicator atau gejala terjadinya perubahan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa gerakan adalah sebuah reaksi terhadap suatu perubahan.
Keadaan petani di Indonesia cenderung berada pada lingkup petani subsisten daripada komersil. Reaksi spontan petani mempertahankan diri dari kekuatan yang mendominasi disebut sebagai gerakan defensif. Manifestasi konflik yang muncul merupakan cerminan dari tujuan sederhana petani menyelamatkan hidupnya.
Reaksi Petani : Defensif atau Reformatifkah?
Pola perlawanan petani pada masa colonial berdeda dengan pola perlawanan petani yang terbentuk pada masa pascakolonial. Kalau pada masa colonial, upaya petani adalah untuk mendapatkan kembali lahan-lahan yang dikuasai pemerintah colonial dan dengan segala keterbatasannya berjuang bahu-membahu bersama dengan elite local desa dan kelas menengah melawan colonial, pada masa pascakolonial upaya tersebut secara politis memiliki bentuk lain yang lebih ekstrim. Hal ini menimbulkan suatu reformasi tanah pertanian secara besar-besaran melalui program land reform.
Sementara, pada masa Orde Baru perlawanan dan kerusuhan petani timbul lebih sebagai upaya petani mempertahankan diri dari ancaman kehilangan lahan yang hendak diambil para pemodal daripada aksi memperoleh tanah-tanah dengan bagian yang lebih besar dari yang sudah dimliki seperti yang terjadi pada masa-mmasa sebelumnya.
Sikap reformatif petani atas tanah-tanah ada pada masa colonial dan pada masa pascakolonial, sedangkan reaksi defensive petani cenderung ditemukan pada masa feodalisme dan Orde Baru.
Konflik Agraria Pada Masa Prakemerdekaan
Hubungan Agraris Penguasan vs Rakyat
Periode prakolonial
Menurut Van Setten van der Meer, hak menguasai tanah pada awalnya bersumber dari kerja seseorang membuka hutan atau tanah-tanah yang semula tak tergarap. Tanah yang baru saja dibuka tersebut disebut sebagai tanah bakalan.
Dilihat dari pola hubungan produksi, Burger menyatakan bahwa masyarakat Jawa prakolonial samapai tahun 1800-an terbagi menjadi dua kondisi, yaitu :
1. Di desa-desa terdapat kehidupan ekonomi yang sederhana (subsistence)
2. Kehidupan masyarakat yang terikat pada hubungan-hubungan kekuasaan dan ketaatan kepada kekuasaan raja-raja, buupati-bupati dan kepala-kepala yang berada diatas kekuasaan desa (feudal).
Dalam system feudal ada tiga pihak yang masing-masing berkepentingan dalam system penguasaan tanah yaitu raja, priyayi dan rakyat atau petani (wong cilik). Jumlah penduduk (cacah) sangat berpengaruh dalam system ini. System politik pada saat itu menciptakan keadaan semakin jauhnya rakyat dari pusat pemerintahan, semakin lemahnya kekuasaan kerajaan karena raja tidak mampu mengawasi rakyat secara efektif. Kondisi politik menjadi tidak stabil sehingga mendorong terjadinya gejolak-gejolak dan pemberontakan di daerah-daerah bawahan kerajaan yang jauh dari pusat pemerintahan.
Periode Kolonial
Masa Sewa Tanah (1800-1830)
Kekuasaan Gubernur Jendral H.W. Deandels (1808-1830)
Peraturan yang dikeluarkan Deandels : penghapusan tanah-tanah milik raja dan wajib kerja bagi pemegang hak tanah, pajak dalam bentuk mengambil seperlima bagian dari hasil bumi rakyat, dan kewajiban kerja rodi dalam pembuatan jalan Anyer-Panarukan untuk kepentingan militer.
Kekuasaan Inggris, Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816)
Menerapkan system liberal yang memberikan kebebasan pada petani dan memberikan kepastian hukum. Ada tiga prinsip yang dijalankan pada masa pemerintahan Raffles, yaitu :
a. Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi dihapuskan. Rakyat diberi kebebasan penuh untuk menentukan jenis tanaman yang hendak ditanam.
b. Peranan para bupati dalam memungut pajak dihapuskan, digantikan dengan fungsi pemerintahan
c. Pemerintah colonial adalah pemilik tanah, petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa. Sebagai penyewa petani diwajibkan membayar pajak bumi sebesar dua perlima dari hasil tanah garapannya.
Kekuasaan Du Bus (1826-1930)
Menerapkan kebijakan menghilangkan tanah-tanah komunal menjadi tanah milik perseorangan dan membuka penanaman modal secara besar-besaran melalui perluasan tanah. Petani-petani tunakisma dengan mudah direkrut menjadi buruh di pertanian-pertanian besar sehingga muncullah stratifikasi social buruh-majikan (pengusaha) yang amat tajam pada masa itu.
Masa Tanam Paksa (1830-1870)
Van den Bosch memanfaatkan adanya ikatan feudal untuk memaksakan kebijakan STP melalui pengaruh para bupati. Kebijakan ini berupaya memperbesar kekuasaan bupati dengan cara memberi apanage (pelungguh) berupa tanah yang diwariskan. STP sangat merugikan kepentingan petani karena membatasi pembukaan tanah-tanah baru sementara tanah pertanian yang sudah ada terus dibagi-bagi.
Masa Liberal (1870-1845)
Diberlakukanya UU Agraria 1870. Hak kuasa feudal terhadap tanah dihapuskan agar tanah-tanah dapat diperjual-belikan oleh pengusaha swasta dan pemerintah colonial. Kebijakan tersebut disambut penduduk dengan pembukaan tanah-tanah baru secara besar-besaran. Pembukaan tanah tersebut menyebabkan semakin pesatnya peningkatan jumlah penduduk Jawa.
Melalui UU Agraria, penanaman wajib yang semula menjadi kebijakan STP mulai digantikan dengan system penanaman bebas. Masuknya system perkebunan ke pedesaan berpengaruh besar terhadap kehidupan petani. Mereka tidak lagi dapat menguasai factor dan proses produksi di tanahnya. Situasi ini mendorong petani memasuki ekonomi uang (monetization) dengan menjadi buruh di perkebunan. Namun system ini tetap tidak mampu meningkatkan kesejahteraan petani tapi petani semakin miskin. Hal ini menjadi sebuah fenomena bahwa para petani telah menjadi kuli di negerinya sendiri.
UUAgraria yang belaku 1870-1920 ini dianggap sebagai “setengah abad ketidakadilan”. Pada awal abad ke-20 melalui “Trias Van Deventer”, pemerintah colonial berusaha memperbaiki kemiskinan yang diderita rakyat Indonesia akibat kebijakan agraria colonial melalui program-program irigasi, transmigrasi, dan pendidikan.
Konflik-konflik structural
Kelangkaan tanah menyebabkan petani mengalami apa yang disebut dengan proses pemiskinan. Kemiskinan dan kerawanan pangan telah menjadi sebab utama petani melibatkan diri dalam pemberontakan. Cirri dari gerakan petani secara keseluruhan menampakkan pola yang sama yakni berupa aktivitas perlawanan dan penolakan terhadap dominasi asing dan struktur kelembagaan modern yang menyertainya. Konflik-konflik agraria yang bermunculan pada abad ke-19,diakibatkan oleh eksploitasi tenaga petani yang melampaui batas.
Konflik-konflik Berlevel Lokal
Walaupun hanya bersifat local dan pengaruhnya tidak sangat besar, pemberontakan petani ini merupakan sebuah gejala bangkitnya manifestasi kesadaran petani atas situasi hidup yang tidak berdaya akibat tekanan penjajah dan kondisi kerja yang buruk sangat jauh dengan tata masyarakat yang diimpikan. Keadaan ekonomi, politik, social dan budaya menjadi factor penentu terjadinya konflik agraria. Awal abad ke-20, gerakan masa petani dalam bentuk organisasi yang lebih terorganisir berbeda dengan ideology gerakan sebelumnya yang bersifat sangat tradisional.
Rakyat vs Raja, Bangsawan dan Kolonial
Dalam struktur feudal, ada sedikitnya tiga actor yang mempunyai kepentingan terhadap tanah, yaitu raja, bangsawan dan rakyat. Konflik structural terjadi antara masyarakat dan pihak kerajaan sebagai akibat penerapan berbagai kewajiban, sementara konflik horizontal banyak berkaitan dengan konflik yang terjadi antar-sikep akibat kebijakan kerajaan dalam hal pancasan. Konflik structural lebih dominan daripada horizontal. Setelah dikeluarkannya UU Agraria 1870, actor yang terlibat konflik mulai bergeser dengan hadirnya pemilik modal perkebunan.
Peradilan Agraria Kolonial
Kasusu-kasus sengketa perdata yang berhubungan dengan pertanahan banyak ditemui di pengadilan-pengadilan pemerintah colonial Belanda (Landraad). Pada masa-masa itu kasus yang bersifat massal, penyelesaian secara politik dan kekerasan banyak terjadi. Dan petani akan selalu dirugikan karena tidak adanya pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan konflik.
Konflik Agraria Pada Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1965)
UUPA dan Pelaksanaan Land Reform
UUPA 1960, pada prinsipnya berisi lima hal, yaitu :
1. Sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945
2. Negara membatasi luas maksimal pemilikan tanah untuk menghindari tumbuhnya tuan tanah yang menghisap tenaga kerja petani melalui system sewa dan gadai
3. Negara mempunyai wewenang untuk mengeluarkan sertifikat atas tanah bagi warga Negara Indonesia tanpa membedakan jenis kelamin dan berdasarkan prinsip nasionalitas
4. Tanah harus dikerjakan sendiri secara aktif dan melarang pemilikan tanah pertanian yang tidak dikerjakan sendiri karena akan menimbulkan tanah terlantar atau meluaskan relasi buruh tani dan pemilik tanah yang cenderung memeras
5. Negara memberi bukti kepemilikan hak atas tanah untuk member kepastian hukum kepada petani pemilik tanah
UUPA ingin melakukan pembaharuan agraria yang dapat memberikan kemakmuran kepada rakyat Indonesia yang sebagian besar kehidupannya tergantung kepada sector agraris.
Tujuan dari diadakannya pembaharuan agraria, antara lain :
a. Untuk membagi secara adil sumber penghidupan petani dengan merombak struktur pertanahan secara revolusioner
b. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk pertanian agarv tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulatif dan obyek pemerasan
c. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah baik setiap WNI yang bersifat social
d. Untuk mengakhiri system tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimal dan minimal untuk tiap keluarga
e. Untuk mempertinggi produksi dan mendorong pertanian intensif secara gotong-royong dalam bentuk koperasi dan bentuk lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil dibarengi dengan system perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan tani
Upaya yang dilakukan berdasarkan UUPA untuk menata struktur agraria, yaitu:
1. Menata pola hubungan penguasaan tanah antara petani pemilik dan buruh tani atau penggarapnya, di berlakukannya UUPBH (UU Perjanjian Hasil Bagi)
2. Membatasi luas pemilikan tanah oleh sebuah keluarga
3. Meredistribusikan tanah Negara kepada petani yang memerlukan atau sebelumnya menggarap tanah tersebut
Persoalan land reform adalah persoalan nasional yang bertujuan merombak struktur agraria di Indonesia yang bersifat feodalisme. Land reform merupakan persoalan yang sangat kompleks menyangkut segi-segi social, ekonomi dan politik kehidupan dan penghidpan petani. Pelaksanaanya pun banyak berhadapan dengan berbagai persoalan seperti persoalan adat, sisa-sisa kekuasaan feudal, persoalan waris dan persoalan lainnya.
Konflik-konflik Akibat Pelaksanaan Land Reform
Sejak diberlakukannya UUPA dan UUPBH, konflik-konflik yang terjadi secara hukum memperoleh legitimasi. Bentuk-bentuk konflik yang timbul pada masa dilaksanakannya land reform diantaranya sebagai berikut :
a. Pendudukan tanah-tanah perkebunan
b. Proses pengambilan kembali tanah-tanah obyek land reform
Contoh. Di Jawa Tengah. Beberapa bentuk dan penyebab konflik yang teridentifikasi diantaranya :
  • Sengketa yang berkaitan dengan tanah kelebihan
  • Sengketa yang berkaitan dengan penguasaan tanah absentee
  • Sengketa yang berkaitan dengan keputusan Menteri Agraria mengenai penunjukan pemilik baru yang dianggap tidak tepat
  • Sengketa yang berkaitan dengan tanah Negara
  • Sengketa yang berkaitan dengan penduduk tanah perkebunan dan kehutanan
  • Sengketa yang berkaitan dengan tanah-tanah PPN
  • Sengketa akibat pelaksanaan UUPBH
  • Sengketa akibat keputusan pengadilan
Pelaksanaan land reform menjadi terhambat karena system administrasi yang buruk, korupsi, manipulasi, dan oposisi dari pihak tuan rumah dan organisasi keagamaan. Meletusnya pemberontakan G30S/PKI mengakibatkan land reform mengalami kegagalan.
Konflik-konflik Horisontal Berlevel Nasional
Organisasi massa petani yang dikoordinir golongan kiri menuntut supaya pemerintah meredistribusi tanah secepat mungkin. Akibatnya, pelaksanaan program land reform yang telah menjadi program nasional menimbulkan konflik-konflik yang levelnya berskala nasional. Di banyak daerah, konflik-konflik tanah terus berlangsung oleh sebab yang sama yakni terlepasnya tanah-tanah dari petani kaya ke sejumlah petani kecil dan tak bertanah.
Petani Kecil Melawan Tuan Tanah
Program land reform menyebabkan persengketaan antara petani penggarap dan para tuan tanah yang sebagian besar adalah golongan agama yang kehidupannya relative kaya dengan pemilikan tanah-tanah luas. Walaupun berskala nasional namun cenderung bersifat internal, yaitu antara kelas petani kecil dan buruh tani yang mendapat dukungan kuat dari golongan kiri melawan kelas tuan tanah dan pengusaha perkebunan.
Penyelesaian Konflik
Beberapa upaya penyelesaian dilakukan pemerintahan Orde Baru, ketika Orba memasuki tampuk kekuasaan, di antaranya sebagai berikut :
1. Penghentian pelaksanaan land reform, yang dianggap sebagai sumber terjadinya konflik di pedesaan
2. Pembekuan UUPA
3. Penggantian kebijakan pembangunan pertanian
Konflik Agraria Pada Masa Orde Baru
Timbulnya Kapitalisme Agraria
Dua hal pokok mengenai petani dan konflik agraria di Indonesia pada masa Orde Baru, yaitu :
1. Kebijakan agraria lebih menekankan pada aspek peningkatan produksi tanpa terlebih dahulu menata struktur agraria dari yang timpang menjadi lebih adil
2. Penekanan stabilitas politik dalam mencapai tujuan pembangunan ekonmi
Karena orientasi pembangunannya lebih menekankan pada pertumbuhan secara cepat, pada saat bersamaan upaya menciptakan struktur agraria yang egaliter menjadi terabaikan. Orientasi kebijakan agraria diarahkan untuk mendukung kebijakan pembangunan ekonomi.
Pada tahun 1967, pemerintah mengeluarkan UU Penanaman Modal Asing (UU-PMA) dan diikuti dengan UU Penanaman Modal Dalam Negri (UU-PMDN) tahun 1968. Tujuannya adalah untuk menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dalam upaya mengurangi jumlah penduduk miskin tak bertanah di Jawa, pemerintah mengganti land reform dengan transmigrasi ke luar Pulau Jawa. Hal ini terealisasikan pada tahun1972 dengan dikeluarkannya UU No. 2/1972 tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi.
Dalam upaya menjaga stabiitas politik yang berkaitan dengan penyediaan pangan, pada waktu yang hampir bersamaan, pemerintah mencanangkan program revolusi hijau. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan produksi pangan melalui diintroduksikannya varientas padi unggul dan teknologi pertanian modern.
Dampak negative dari revolusi hijau bagi para petani, antara lain :
a. Karena kebijakan agraria lebih berorientasi kepada produksi, akses petani kecil dan tunakisma tanah obyek land reform menjadi sangat terbatas
b. Adanya kebijakan revolusi hijau sangat membatasi kebebasan petani untuk menentukan komoditas pertanian yang sesuai dengan keinginannya
c. Petani menjadi tergantung terhadap sarana produksi pertanian, karena semua jenis sarana tersebut ditentukan oleh pemerintah
Munculnya fenomena kapitalisme agraria ditandai oleh beberapa hal berikut :
1. Beralihnya penguasaan asset produksi
2. Munculnya monopoli di sector agraria
3. Hilangnya hak-hak tradisional
4. Konsentrasi penguasaan asset produksi
Kehutanan
Keberadaan subsector kehutanan sangat diharapkan Negara sebagai sumber kontribusi dana pembangunan, terutama sekali pada awal kekuasaan Orba. Dikeluarkannya UU Pokok Kehutanan (UUPK) pada tahun 1967. Tujuan dikeluarkannya UU ini adalah memberikan berbagai fasilitas eksploitasi hutan kepada penanam modal, baik asing maupun dalam negeri.
Walaupun pembangunan kehutanan di Indonesia terhitung sangat intensif dan tingkat eksploitasi hutannya sangat tinggi, kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) ternyata sangat kecil. Selain itu, kontribusi subsector kehutanan terhadap penyerapan tenaga kerja juga sangat rendah. Walaupun kontribusi terhadap perekonomian secara keseluruhan sangat rendah, namun subsector kehutanan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perolehan devisa.
Pertambangan
Sejak dikeluarkannya UU Pokok Pertambangan (UUPP) pada tahun 1967, banyak investor asing yang kemudian menanamkan modalnya di Indonesia. Hampir semua hasil pertambangan non minyak bumi adalah untuk kepentingan ekspor. Walaupun kontribusi terhadap devisa sangat besar, secara keseluruhan pendapatan dari subsector pertambangan secara langsung hanya bisa dinikmati oleh pemerintah pusat.
Perkebunan
Walaupun member sumbangan yang cukup besar dalam peningkatan ekspor nonmigas, pengembangan subsector perkebunan ini mengandung bibit konflik yang cukup besar, terutama kaitannya dengan masalah pertanahan. Frekuensi konflik meningkat setelah pemerintah memberi peluang kepada pihak swasta untuk mengembangkan sector perkebunan melalui pola-pola kemitraan inti-plasma.
Proyek PIR (Perkebunan Inti Rakyat) di Indonesia adalah proyek intensifikasi, rehabilitasi, dan ekstensifikasi pertanian untuk berbagai jenis komoditas seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan yang semuanya diorientasikan untuk ekspor. Dalam dasawarsa 90-an, investasi modal dalam perkebunan membutuhkan tanah sebagai modal utama. Ketika pola PIR dikembangkan, konflik-konflik bermunculan yakni antara rakyat yang sebelumnya bekerja sebagai penggarap dan perusahaan perkebunan yang diberi hak pemerintah untuk mengembangkan PIR.
Pariwisata
Ketika harga minyak bumi di pasaran nternasionbal merosot tajam, sector pariwisata menjadi sector yang didorong untuk menghasilkan devisa Negara. Upaya untuk mengeruk devisa dari sector pariwisata ini diantaranya melalui berbagai program, misalnya Visit Asean Year, Visit Indonesia Year. Namun pembangunan pariwisata diberbagai daerah yang cukup potensial diwarnai oleh konflik agraria dengan semakin maraknya kasus-kasus tanah yang menyangkut pembangunan sarana dan prasarana pembukaan daerah pariwisata baru.
Industri
Perkembangan industry muncul ketika pemerintah Orba mencanangkan industrialisasi dengan dikeluarkannya UUPMA dan UUPMDN. Untuk mendorong percepatan pertumbuhan industry, pemerintah menetapkan kebijakan yang memberikan peluang yang besar kepada para pengusaha untuk memperluas penanaman investasi di sector industry, baik dengan cara patungan (joint venture) dengan pengusaha-pengusaha asing maupun dengan menetapkan kebijakan pemanfaatan relokasi industry yang daya saingnya menurun di Negara-negara maju. Selain itu juga diberlakukannya kebijakan penanaman modal, kebijakan moneter, dan pola kebijakan lainnya. Upaya ini mampu mendorong pertumbuhan sector industry.
Dalam banyak kasus, pengembangan wilayah industry menimbulkan berbagai konflik pertanahan yang berkaitan dengan proses pembebasan tanah.
Transmigrasi
Persengketaan tanah yang diawali dengan pengalihan lahan-lahan penduduk local ke transmigran (pendatang) merupakan persoalan krusial yang mewarnai persengketaan tanah yang ada pada masa penerapan kebijakan transmgrasi. Pola sengketa utama adalah tidak adanya persetujuan yang jelas antara pihak penduduk local dan pihak pemerintah mengenai hak atas tanah sebelum suatu desa dibuka. Sengketa tanah bermuara pada persoalan alokasi tanah dari pihak pemerintah untuk lokasi transmigrasi.
Sengketa Agraria Sektoral
Kehutanan
Konflik tanah terjadi akibat tumpang tindihnya areal kosensi hutan dan hutan dikuasai oleh masyarakat adat. Kasus sengketa tanah antara masyarakat adat di Sawahlunto (Sumatera Barat) dan PT IN yang melarang penduduk mengerjakan tanah yang diklaim sebagai milik PT IN sebagai pemegang HPH yang sah (Kompas, 22/4/1983) merupakan contoh kasus sengketa tanah akibat perebutan sumber daya kehutanan antara masyarakat adat pengelola hutan yang sebagian besar hidupnya masih tergantung dari sumber daya hutan dan pemodal sebagai pemegang HPH yang difasilitasi pemerintah.
Selain oleh pemodal, dominasi Negara juga berperan memunculkan kasus-kasus baru sengketa tanah. Kebanyakan kasus persengketaan disebabkan penguasaan pemodal atas tanah-tanah petani. Selain akibat penggusuran tanah-tanah adat, konflik-konflik tanah disubsektor kehutanan juga muncul akibat perebutan sumber-sumber ekonomi masyarakat adat yang sebagian besar diambil dari hutan.
Kebijakan Negara melalui UUPK No 5/1967, lebih menekankan kepada cara Negara dalam memperoleh devisa melalui sector kehutanan, bukan karena perlindungan terhadap hak-hak masyarakat local. UU ini tidak mampu dalam menekan konflik tumpang tindih lahan dengan peruntukan lain.
Transmigrasi
Kasus-kasus sengketa tanah di lokasi transmigrasi kadang terjadi sebagai akibat kebijakan transmigrasi yang sering mengabaikan hak-hak masyarakat local. Kesalahan pemilihan lokasi bagi transmigran mengakibatkan terjadinya berbagai kasus persengketaan dan konflik antara masyarakat adat dan para transmigran.
Pertambangan
Konflik pertambangan yang pertama muncul dalam masa Orba adalah konflik yang terjadi antara masyarakat Suku Amungme dan PT Freeport Indonesia. Mereka menentang pembuldoseran tanah mereka untuk kepentingan pertambangan. Suku Amungme melakukan perusakan terhadap beberapa fasilitas Freport. Aksi ini kemudian dapat dipadamkan dengan aksi militer.
Perkebunan
Konflik yang terjadi adalah antara rakyat dan perusahaan Negara sebagai akibat perebutan tanah-tanah komoditas tertentu yang sesuai dengan keinginan pihak pemodal. Kasus sengketa tanah yang terjadi antara petani penggarap dan pihak perkebunan Negara yang berusaha mengambilk alih penguasaan tanah dari tangan petani penggarap. Contoh : kehidupan penduduk Air Batu (Kab. Asahan) terusik ketika PTP V membebaskan lahan garapan mereka untuk pengembangan perkebunan.
Dalam pola PIR-BUN, proses-proses pengambilalihan tanah yang digarap petani oleh pihak pemodal merupakan salah satu bentuk konflik agraria disubsektor perkebunan yang semakin merebak di masa Orde Baru.
Industri
Rumitnya pengaturan masalah tanah dalam proses industrialisasi telah mengakibatkan kasus-kasus sengketa tanah dalam bentuk berbagai proses penggusuran dan pengambilalihan tanah-tanah untuk pengembangan kawasan industry.
Contoh kasusnya adalah : sengketa tanah milik petani Kedungombo untuk pembangunan waduk. Sengketa tanah ini menjadi kasus yang melebar dan lama pemecahannya karena tidak berusaha diselesaikan secara tuntas.
Pariwisata
Sengketa tanah di sector pariwisata adalah semakin maraknya kasus yang menyangkut pembangunan tempat-tempat pariwisata. Kasus-kasus sengketa tanah antara pihak pengembang sector pariwisata dan pemilik tanah di kawasan yang hendak dibebaskan banyak terjadi, baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa.
Contoh : Cangkringan, Sleman, DIY, kasus sengketa tanah antara petani vs pihak pengembang pariwisata. Warga dari empat dusun menolak tanah mereka digusur dan akan digunakan untuk pembangunan kawasan wisata. Warga kemudian mengadakan unjuk rasa dan mengadukan masalahnya ke DPRD (Republika, 31/5/1994).
Sengketa Agraria Regional
Potensi sumber daya alam yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia, mengakibatkan para pemodal berlomba-lomba menguras sumber daya agraria yang ada. Sehingga memicu timbulnya kasus-kasus sengketa tanah di banyak pulau-pulau besar di Indonesia.
Sulawesi
Sulawesi yang wilayahnya cukup luas dan bahkan dicanangkan menjadi daerah tujuan transmigrasi ternyata masih ditemukan cukup banyak keluarga petani yang tidak memiliki tanah. Dukungan politik dari pemerintah menyebabkan semakin pesatnya perkembangan perkebunan besar milik swasta di Sulawesi. Diambilnya tanah-tanah adat untuk kepentingan pengembangan perkebunan besar dan pembangunan telah menyebabkan berbagai aksi penolakan rakyat. Kasus ini terjadi di Gorontalo, ketika PT NM membebaskan lahan milik warga yang akan digunakan untuk pembangunan industry gula.
Kalimantan
Persoalan konflik internal yang berkembang di masyarakat adat dalam penguasaan dan pemilikan tanah, yang variatif. Selain konflik internal, persoalan eksternal juga mewarnai pokok munculnya sengketa tanah yakni kuatnya hegemoni Negara dalam menguasai dan memiliki tanah, di samping pemerintah sendiri tidak mengakui hak masyarakat adat untuk mengelola sumber daya alam. Perusahaan swasta biasanya menggunakan cara penyerobotan, pemaksaan dan pemberian ganti rugi yang tidak layak dengan dalih telah direstui pemerintah untuk kepentingan pembangunan.
Jawa
Perebutan penguasaan tanah garapan petani masih mendominasi sebab konflik persengketaan tanah di hampir seluruh wilayah Jawa. Ganti rugi yang diberikan dalam pembebasan tanah dianggap tidak memadai. Contoh : tanah untuk jalan dan pariwisata, seperti kasus sengketa tanah karena pembangunan kawasan wisata di Bali.
Nusa Tenggara Timur
Provinsi ini merupakan daerah yang cukup potensial untuk memunculkan konflik-konflik yang berhubungan dengan permasalahan agraria. Di kawasan ini, berlaku hukum-hukum adat yang mengatur pengambilan sumber-sumber alam. Pelanggaran terhadap hukum-hukum adat akan menyebabkan konflik-konflik dengan masyarakat yang masih memegang teguh adat. Contoh : kasus Molo Selatan 1972, lahan diambilalih oleh Dinas Kehutanan untuk kawasan hutan. Rakyat baru melakukan perlawanan di tahun 1995.
Sumatera
Konflik tanah terjadi hampir diseluruh daerah sumatera. Contoh : konflik tanah di Sumatera Utara, fenomena yang nama adalah :
1. Tidak dikembalikannya tanah-tanah rakyat yang disewa oleh pihak perkebunan setelah habis masa sewanya
2. Pengembalian kembali lahan perkebunan bekas Belanda maupun yang habis masa HGU-nya yang dikuasai masyarakat oleh pihak perkebunan
3. Pemberian hak kepada pihak perkebunan untuk menggarap areal hutan yang dilindungi dan melarang rakyat untuk menggarapnya
Kasus sengketa tanah yang terjadi di sebagian besar daerah di Pulau Sumatera adalah mengenai perebutan areal perkebunan yang digarap petani dan kemudian dikuasai pihak lain.
Irian
Tidak adanya kepastian hukum yang jelas terhadap pemilikan tanah oleh masyarakat adat memicu timbulnya konflik. Lemahnya posisi rakyat menyebabkan penguasaan tanah digunakan oleh pihak swasta dan Negara untuk pengembangan perkebunan besar dan pemberdayaan hutan.
Kasus masyarakat vs perusahaan karena adanya perbedaan konsep tentang hak milik tanah. Masyarakat adat di Irian tidak mengenal lembaga jual beli, karena mereka masih hidup sebagai masyarakat agraris dengan pola hidup subsisten yang sangat tergantung kepada hutan, tanah dan lingkungan.
Konflik-konflik Vertikal-Struktural
Actor yang mempengaruhi dinamika politik adalah semacam pressure group dan media masa yang jumlahnya terbatas dalam mengartukulasi kepentingan-kepentingan pihak yang berkonflik, yaitu rakyat. Konflik-konflik yang muncul muncul pada periode ini banyak berkaitan dengan transmigrasi dan eksploitasi sumber daya agraria. Konflik yang bersifat vertical-struktural yaitu antara masyarakat yang mempertahankan hak atas tanah di satu pihak dan pemerintah dan pemilik modal yang melakukan model pembangunan lapar tanah di lain pihak.
Dimensi structural-vertikal dapat dipahani dalam proses akumulasi factor produksi sebagai berikut :
1. Konflik terjadi dalam konteks perebutan sumber daya agraria
2. Konflik terjadi dalam konteks pemaksaan terhadap komoditas tertentu
3. Konflik terjadi dalam konteks massa mengambang
Konflik yang terjadi cenderung melibatkan aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Tekanan aparat dapat diamati dari besar tidaknya pengaruh politik yang ditimbulkan. Tekanan aparat sangat bervariasi, diantaranya:
a. Pencapan sebagai anggota organisasi terlarang
b. Pencabutan fasilitas hak-hak sipil
c. Kekerasan fisik/senjata
d. Kekerasan fisik tanpa senjata
e. Intimidasi terror
f. Pembuldoseran
g. Penangkapan
Perlawanan yang dilakukan oleh petani, antara lain :
a. Menolak pengambilan tanah
b. Melakukan aksi delegasi ke lembaga politik
c. Meminta bantuan LBH/LSM atau Komnas HAM
d. Melakukan perlawanan fisik
e. Perusakan
f. Menggugat ke pengadilan
Pembelaan Rakyat Melawan Pembela Kepentingan Pembangunan
Petani tetap bertahan dalam menghadapi kasus sengketa tanah dan berusaha tetap pada posisinya dalam menghadapi usaha penguasaan atas eksistensinya. Seandainya akibat dari penguasaan ini dirugikan, petani akan bereaksi untuk bertahan atau berusaha untuk tetap hidup samapi ambang batas minimal.
Level Konflik
Tidak meratanya level konflik berkaitan pula dengan ketidakberdayaan partai politik dalam mengangkat isu konflik tersebut dan ketidakeberakaran mereka kedalam masyarakat pedesaan. Dlihat dari dampak atau kaitan konflik tanah dengan masalah lain, konflik yang terjadi hanya sebatas masalah agrarian. Hal ini berkaitan dengan kondisi perlawanan petani atau pihak yang berkonflik yang lebih terfokus pada upaya mempertahankan hak yang sudah ada, dan bukan merupakan sebuah gerakan yang ingin mengubah strategi kebijakan yang lebih besar.
Penyelesaian Kasus per Kasus
Sampai saat ini belum ada upaya yang bersifat structural, yaitu menyesuaikan kebijakan yang ada agar lebih memihak kepada kepentingan petani kecil. Upaya peradilan cenderung merugikan pihak petani sehingga petani memilih jalur di luar pengadilan dalam usaha menyelesaikan konflik. Diterapkannya MAPS (Mekanisme Alternatif Pemecahan Sengketa) yang merupakan pengembangan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa alternative di luar pengadilan.
Gambaran ke Depan
Konflik agraria yang muncul di Indonesia sangat berkaitan dengan dimensi politik dan ekonomi dalam konteks hubungan-hubungan agraris serta kebijakan-kebijakan agraria pada suatu periode tertentu. Kebijakan ini akan mempengaruhi bentuk konflik yang timbul, actor yang terlibat, serta level konfliknya.
Pada masa prakolonial atau feudal, pola hubungan vertical dalam penguasaan tanah menentukan bentuk konflik agraria yang sifatnya vertical dan horizontal. Aktornya adalah “raja vs rakyat”. Masa colonial konflik agrarian bersifat structural, rakyat vs pemerintah colonial dan pemilik modal asing. Orde Lama, konflik bersifat horizontal, karena system politik yang pluralistic. Orde Baru, untuk mendorong kesuksesan program pembangunan ekonomi nasional pemerintah mengalokasikan penggunaan sunberdaya agraria digarap secara modern yang dianggap lebih cepat daripada sector tradisional.
Pada masa feodalisme, actor yang berkuasa dalam alat produksi (tanah) adalah raja, sementara rakyat hanya berhak menggunakan dan menggarapnya. Pada masa colonial, tanah dikuasai oleh pemerintah colonial dan pemodal asing yang berhasil mengambil alih dari tangan raja. Pada masa ini timbullah kapitalisme. Pada masa Orde Lama, adanya UU Land Reform. Konflik terjadi antara pihak yang pro dan kontra terhadap program land reform. Orde Baru, menekankan pada peningkatan produktifitas tetapi mengabaikan pembenahan struktur agraria. Sepanjang sejarah posisi petani tetap lemah, baik secara politik maupun politik.
Visi Masa Depan Kebijakan Agraria
Pembangunan Jangka Panjang II (PJP II) Indonesia tetap meberikan penekanan pada pertumbuhan sector industry. Industry dengan mengeksploitasi sumber daya agraria memberikan devisa yang besar bagi Negara. Dengan program effective land market akan menarik investor asing ke Indonesia akibatnya kebijakan agraria ini masih akan memihak kepada kepentingan pihak-pihak yang secara langsung mampu memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, dan petani akan semakin terabaikan. Pola-pola kebijakan dan hubungan produksi yang ada tidak lepas dari pengaruh kapitalisme global yang dewasa ini sangat dominan. Perlun diadakan kembali struktur dan relasi agraria sebagai upaya pencegahan terjadinya konflik