PETANI
DAN KONFLIK AGGRARIA
Judul Buku : Petani dan Konflik Agraria
Pengarang : Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni
Penerbit : Akatiga
Kota terbit : Bandung
Tahun terbit : 1998
Tebal : xxii + 214 halaman
Masalah
Agraria dan Potensi Petani
Tanah,
dalam system social, ekonomi, politik dianggap sebagai factor produksi utama.
Yang membedakan dari masing-masing unsure tersebut adalah fungsi, mekanisme
pengaturan dan cara pandang terhadap tanah itu sendiri. Pemilikan maupun
penguasaan tanah merupakan factor penting dalam setiap masyarakat, apapun model
system social-ekonomi-politik yang dianut didalamnya.
Pentingnya
penguasaan tanah bagi masyarakat dengan sendirinya akan mendorong munculnya
upaya untuk mempertahankan hak-hak atas tanah dari setiap intervensi pihak
luar. Hal ini menimbulkan konflik yang terjadi antara pihak-pihak terkait.
Dalam buku Petani dan Konflik Agraria ini menganalisis konflik agraria
pedesaan yang terjadi di Indonesia pada tiga periode, yaitu masa prakemerdekaan
(colonial dan pra colonial), masa pascakemerdekaan (sejak kemerdekaan sampai
peralihan ke Orba), dan masa Orde Baru dengan tekanan konflik-konflik yang
melibatkan petani dan pihak-pihak lain. Penekanan pada masa orde baru yang
banyak disertai dengan artikel-artikel dari keliping Koran.
Petani,
Kapitalisme, dan Konflik Agraria
Petani
: Antara Moral dan Rasional
Menurut
Scott: Prinsip “norm of reciprocity” dan jaminan subsistensi (petani
subsisten : menunjuk pada rumah tangga petani yang mengerjakan suatu lahan
kecil untuk dikonsumsi sendiri) minimal berada pada hubungan social yang
pantas, wajar dan adil yang menggambarkan kehidupan ekonomi petani secara
normative. Menurut George Stuart, salah satu pola hubungan itu adalah sikap
inti dan hormat terhadap tanah yang menganggap pekerjaan pertanian sebagai
pekerjaan yang baik dan kegiatan komersil sebagai pekerjaan yang tidak terlalu
baik.
Dalam
teori ekonomi dualisme Boeke (dua pola ekonomi : tradisional dan modern),
menilai bahwa nilai dan sikap “limited needs” merupakan prinsip moral
yang berlaku umum di kalangan petani Jawa. Menggarap sawah tidak dianggap
sebagai kegiatan ekonomi untuk mencari keuntungan tetapi sekedar untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Menurut
Wolf, ada kecenderungan petani akan menghentikan usahanya berproduksi begitu
kebutuhan subsistensinya terpenuhi. Sedangkan, Popkins lebih mengakui adanya
rasionalitas petani. Petani adalah “homo oekonomicos” yang akan terus
berusaha memaksimalkan sumber daya dan kemakmuran sendiri tanpa memperdulikan
moral pedesaan seperti pendapat Scoot. Menurut Hayami dan Kikuchi, pada
masyarakat petani berlaku prinsip moral dan rasional ketika akan mencari
keuntungan.
Ada
tiga indicator yang dipakai untuk memahami pola subsistensi petani, yaitu :
1.
Sikap atau cara petani memperlakukan factor-faktor produksi yakni tanah dan
sumber daya agraria
2.
Besar kecilnya skala usaha petani
3.
Jenis komoditas yang dibudidayakan petani
Konsep
tentang petani subsisten merupakan kunci utama dalam menganalisis persoalan
konflik agrarian di Indonesia. Asumsi sementara yang akan menjadi alatanalisis
memahami fakta sempitnya skala usaha petani adalah realitas terjadinya proses
ketimpangan struktur penguasaan tanah , khususnya di Jawa, yang semakin tajam
dalam dua dasawarsa (1973-1993). Ketimpangan struktur penguasaan tanah yang
semakin tajam ditunjukan dengan perubahan secara berlanjut yakni semakin
menyempitnya skala usaha tani dan meningkatnya jumlah tunakisma. Menurut Kano
ada dua factor yang menyebabkan adanya perbedaan yang jelas dan menentukan munculnya
petani tunakisma di masyarakat pedesaan Jawa, yaitu factor demografi yakni
tingginya man land ratio dan factor ekonomi yakni komersialisasi
pertanian.
Ketimpangan
penguasaan tanah yang terjadi menyebabkan kondisi tidak meratanya tanah yang
bisa diakses petani untuk berproduksi. Kemampuan berproduksi menjadi indicator
dari sikap petani yang lebih mengutamakan kebutuhan konsumsinya sendiri agar
terpenuhi dahulu daripada mencari keuntungan dan surplus yang dapat dihasilkan
dari keterbatasan factor produksi yang dimilikinya.
Petani
dan Kapitalisme Agraria
Perkembangan
Mode Produksi dan Konflik Agraria
Peran
actor-aktor yang berkepentingan tehadap sumber daya tanah menjadi penyebab
munculnya konflik agraria. Pemahaman mengenai cara system dan proses produksi
kemudian menganalisis deskriptif dari data berupa kasus-kasus yang kemungkinan
tibul dari perkembangan mode produksi. Tanah tidak hanya dipandang sebagai
factor produksi tetapi juga merupakan asset penting bagi aktivitas manusia.
Pada
masa feodalisme atau prakapitalis, raja menggarap tanah hanyalah symbol
otoritas. System ini pada prinsipnya mengutamakan hubungan yang erat antara
raja dan tuan-tuan tanah dalam mengurus Negara. Di Indonesia system feodalisme
muncul pada zaman Hindu. Di Jawa penguasaan tanah tidak begitu menentukan
sebagai dasar hubungan antara rakyat dan raja. Kekuasaan para bangsawan lebih
berdasarkan pada jumlah cacah yang sesuai dengan prinsip bersatunya kawula dan
gusti sehingga dalam struktur masyarakatnya terlihat pengelompokan
menurut kelas tertentu seperti priyayi dan rakyat biasa.
Sumber-sumber
ekonomi secara politis dikuasai feudal dan petani hanya sebagai penggarap
dengan berbagai kewajiban kepada raja yang bersfat mengikat. Akibatnya sering
terjadi konflik antara raja (bangsawan) dan rakyat yang menggarap tanah hasil
pemberian raja. Mode produksi feudal ini sangat mempengaruhi kriteria
konflik-konflik yang muncul seperti bentuk, level, intensitas maupun ukuran
konflik. Bentuk konflik yang muncul bersifat horizontal dan vertical, yakni
implikasi dari adanya penguasa tunggal atas tanah. Bagi petani yang seluruh
hidupnya tergantung dari hasil tanah garapan, tanah dianggap sebagai pusaka (heirloom
land) dan tidak sekedar symbol apalagi mata dagangan (commodity).
Perubahan
fungsi tanah dari alat produksi untuk konsumsi si penggarap menjadi alat alat
untuk mencapai surplus maksimal menyebabkan tingkat eksploitasi tinggi pada
factor produksi yakni tanah dan tenaga kerja (penggarap). System ekonomi
semacam ini disebut sebagai kapitalisme. Cirri khas kapitalisme adalah
penguasaan modal oleh kapitalis, sementara tanah dan tenaga kerja sebagai
factor produksi terpisah satu sama lain. Di Indonesia munculnya kapitalisme
sebagai bentuk dari kolonialisme asing.
Pada
masa colonial, perkembangan mode produksi kapitalis mencapai puncaknya pada
masa liberal atau penanaman modal. Kebijakan pemerintah colonial dengan
mengubah tanah-tanah komunal menjadi milik persorangan memposisikan tanah dari
factor produksi menjadi sumber penumpukan capital dan investasi para pemodal
swasta. Pengutuban antara rakyat sebagai buruh di satu pihak dan pemilik modal
swasta asing dan Negara di lain pihak menyebabkan munculnya konflik-konflik
agraria yang bersifat structural.
Perubahan
politik yang terjadi dengan berakhirnya masa colonial di Indonesia, ikut
mengubah mode produksi agraria dari kapitalis colonial menjadi populis. Mode
produksi populis ini menempatkan tanah, tenaga kerja, pengambilan keputusan
mengenai proses produksi, akumulasi dan investasi capital di tangan keluarga
petani. Dalam system ini, pengakuan hak individu atas tanah-tanah sangat jelas
tanpa mengabaikan fungsi tanah secara social. Kekuatan politik masyarakat yang
dikutsertakan dalam program-program agraria yang bersifat populis tampak dari
lahirnya UUPA 1960 dan pelaksanaan land reform. Konflik-konflik tanah
yang sifatnya internal dan bentuknya horizontal muncul mewarnai perkembangan
mode produksi populis yakni antara buruh tani dan petani-petani kecil melawan
tuan-tuan tanah, petani-petani kaya dan penguasa-penguasa perkebunan.
Perubahan
kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru telah membawa akibat pada terjadinya
perubahan system politik. Salah satunya adalah perubahan strategi agraria (neo)
populis menjadi strategi agraria kapitalis melalui ideology pembangunan (developmentalisme)
yang terkait erat dengan system kapitalisme dunia. Struktur politik agraria
kapitalis di masa Orde Baru yang menekankan pada eksploitasi sumber-sumber daya
agraria untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi telah jelas mengubah tanah dan
petani dari asset menjadi sumber eksploitasi capital.
Perubahan
mode produksi ke proses akumulasi capital inilah yang menimbulkan konflik tanah
sepanjang Orde Baru yang bersumber darikegiatan pengambilan tanah-tanah rakyat
oleh pemodal dan atau Negara. Pengambilalihan tanah-tanah ini terlihat dari
banyaknya kasus penggusuran tanah disektor dan subsektor pembangunan, seperti
kehutanan, perkebunan, pertanian, industri dan pariwisata.
Dilihat
dari sistematika mode produksinya, mode produksi masa kolonial dan Orde Baru
memiliki kesamaan yaitu keduanya merupakan system yang sangat eksploitatif
dalam memanfaatkan factor-faktor produksi. Perbedaan yang terlihat dari siapa
actor dan apa peran yang dimainkan dalam mode produksi capital tersebut serta
motivasi-motivasi petani melakukan “pemberontakan”. Penyebab konflik tanah
dalam mode produksi capital tersebut adalah kepentingan yang sama atas sumber
daya tanah.
Kondisi
Petani Akibat Merasuknya Kapitalisme Agraria di Pedesaan
Di
Indonesia, perkembangan komersialisme pertanian melalui program revolusi hijau
merupakan salah satu fakta yang jelas sebagai indicator masa saat petani mulai
mengenal inovasi teknologi yang mampu menghasilkan surplus produksi. Dampak
pengaruh kapitalisme kepada masyarakat pedesaan yang sangat jelas terlihat dari
proses hilangnya kemandirian petani dalam mengusahakan system produksinya.
Tujuan dan orientasinya adalah merasionalkan semua kegiatan petani agar mampu
menghasilkan keuntungan dengan berbagai inovasi baru di bidang pertanian.
Situasi
ini semakin memperbesar stratifikasi petani dan mendesak petani ke posisi yang
terpecah-pecah tanpa memiliki perlindungan dari lembaga-lembaga tradisional
mereka. Adanya perubahan system pembagian pendapatan di kalangan petani, diantaranya
: dari System bawon : system upah secara natura dari pekerjaan menuai
padi yang terbuka bagi seluruh penduduk desa dan menurut tradisi jumlah orang
yang ikut memanen tidak dibatasi. Dalam system ini baik pemilik lahan maupun
buruh merasa aman dan diuntungkan. Berubah menjadi System tebasan :
petani menjual padi yang masih ditanam kepada penebas beberapa hari sebelum
panen. Karena dalam perananya sebagai penebas bebas dari kewajiban tradisional,
tengkulak mempekerjakan sedikit orang untuk memanen dengan upah kontan dan
dengan peralatan sabit sehingga biaya dapat dikurangi. Dengan masuknya
teknologi baru menyebabkan petani komersil cenderung mengabaikan
kewajiban-kewajiban tradisional tentang pemerataan kerja dan pendapatan bagi
penduduk miskin di desa.
Pola-pola
hubungan patron-klien ditemukan hampir di semua masyarakat petani. Namun
meningkatnya kemiskinan di desa telah memaksa petani untuk mencari
perlindungankepada warga yang bukan kerabat, yang menyebabkan timbulnya kelas
patron. Kemunculan kelas ini menempatkan petani pada posisi yang serba tidak
menguntungkan.
Ancaman
terhadap subsistensi petani tidak hanya disebabkan semakin merasuknya
kapitalisme ke pedesaan, tetapi juga disebabkan tataran yang lebih besar yaitu
berkembangnya kekuasaan Negara melalui kebijakan-kebijakannya yang
mengakibatkan akses petani terhadap sumber daya semakin terbatas.
Kebijakan-kebijakan tersebut mendorong terjadinya kapitalisme agraria. Dalam
kapitalisme agraria terjadi suatu perubahan pemilikan factor produksi dari
petani kepada kelas pemilik modal. Demikian pula ideology pembangunan yang
sangat dipengaruhi teori modernisasi yang lebih menekankan atau mendorong
tumbuhnya sector “modern” mengakibatkan semakin terdesaknya sector
“tradisional” yang merupakan kelompok retan di pedesaan.
Konflik
Agraria dan Reaksi Petani
Konflik
agraria terjadi ketika subsistensi petani sebagai pengelola sumber daya agraria
berikut pola penguasaannya terancam dengan tergangguanya tata produksi oleh
intervensi capital ke dalam masyarakat. Aksi protes, kekerasan dan perusakan
terhadap produk capital merupakan cara manifest yang akhir-akhir ini mewarnai
peta konflik agraria di Indonesia.
Intervensi
system kapitalisme ke pedesaan telah menimbulkan benturan dan begitu banyak
perubahan di semua aspek kehidupan petani. Konflik, kesenjangan social, dan
munculnya reaksi atau gerakan petani merupakan beberapa indicator atau gejala
terjadinya perubahan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa gerakan adalah
sebuah reaksi terhadap suatu perubahan.
Keadaan
petani di Indonesia cenderung berada pada lingkup petani subsisten daripada
komersil. Reaksi spontan petani mempertahankan diri dari kekuatan yang
mendominasi disebut sebagai gerakan defensif. Manifestasi konflik yang
muncul merupakan cerminan dari tujuan sederhana petani menyelamatkan hidupnya.
Reaksi
Petani : Defensif atau Reformatifkah?
Pola
perlawanan petani pada masa colonial berdeda dengan pola perlawanan petani yang
terbentuk pada masa pascakolonial. Kalau pada masa colonial, upaya petani
adalah untuk mendapatkan kembali lahan-lahan yang dikuasai pemerintah colonial
dan dengan segala keterbatasannya berjuang bahu-membahu bersama dengan elite
local desa dan kelas menengah melawan colonial, pada masa pascakolonial upaya
tersebut secara politis memiliki bentuk lain yang lebih ekstrim. Hal ini
menimbulkan suatu reformasi tanah pertanian secara besar-besaran melalui
program land reform.
Sementara,
pada masa Orde Baru perlawanan dan kerusuhan petani timbul lebih sebagai upaya
petani mempertahankan diri dari ancaman kehilangan lahan yang hendak diambil
para pemodal daripada aksi memperoleh tanah-tanah dengan bagian yang lebih
besar dari yang sudah dimliki seperti yang terjadi pada masa-mmasa sebelumnya.
Sikap
reformatif petani atas tanah-tanah ada pada masa colonial dan pada masa
pascakolonial, sedangkan reaksi defensive petani cenderung ditemukan pada masa
feodalisme dan Orde Baru.
Konflik
Agraria Pada Masa Prakemerdekaan
Hubungan
Agraris Penguasan vs Rakyat
Periode
prakolonial
Menurut
Van Setten van der Meer, hak menguasai tanah pada awalnya bersumber dari kerja
seseorang membuka hutan atau tanah-tanah yang semula tak tergarap. Tanah yang
baru saja dibuka tersebut disebut sebagai tanah bakalan.
Dilihat
dari pola hubungan produksi, Burger menyatakan bahwa masyarakat Jawa
prakolonial samapai tahun 1800-an terbagi menjadi dua kondisi, yaitu :
1.
Di desa-desa terdapat kehidupan ekonomi yang sederhana (subsistence)
2.
Kehidupan masyarakat yang terikat pada hubungan-hubungan kekuasaan dan ketaatan
kepada kekuasaan raja-raja, buupati-bupati dan kepala-kepala yang berada diatas
kekuasaan desa (feudal).
Dalam
system feudal ada tiga pihak yang masing-masing berkepentingan dalam system
penguasaan tanah yaitu raja, priyayi dan rakyat atau petani (wong cilik).
Jumlah penduduk (cacah) sangat berpengaruh dalam system ini. System
politik pada saat itu menciptakan keadaan semakin jauhnya rakyat dari pusat
pemerintahan, semakin lemahnya kekuasaan kerajaan karena raja tidak mampu
mengawasi rakyat secara efektif. Kondisi politik menjadi tidak stabil sehingga
mendorong terjadinya gejolak-gejolak dan pemberontakan di daerah-daerah bawahan
kerajaan yang jauh dari pusat pemerintahan.
Periode
Kolonial
Masa
Sewa Tanah (1800-1830)
Kekuasaan
Gubernur Jendral H.W. Deandels (1808-1830)
Peraturan
yang dikeluarkan Deandels : penghapusan tanah-tanah milik raja dan wajib kerja
bagi pemegang hak tanah, pajak dalam bentuk mengambil seperlima bagian dari
hasil bumi rakyat, dan kewajiban kerja rodi dalam pembuatan jalan
Anyer-Panarukan untuk kepentingan militer.
Kekuasaan
Inggris, Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816)
Menerapkan
system liberal yang memberikan kebebasan pada petani dan memberikan kepastian
hukum. Ada tiga prinsip yang dijalankan pada masa pemerintahan Raffles, yaitu :
a.
Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi dihapuskan.
Rakyat diberi kebebasan penuh untuk menentukan jenis tanaman yang hendak
ditanam.
b.
Peranan para bupati dalam memungut pajak dihapuskan, digantikan dengan fungsi
pemerintahan
c.
Pemerintah colonial adalah pemilik tanah, petani yang menggarap tanah dianggap
sebagai penyewa. Sebagai penyewa petani diwajibkan membayar pajak bumi sebesar
dua perlima dari hasil tanah garapannya.
Kekuasaan
Du Bus (1826-1930)
Menerapkan
kebijakan menghilangkan tanah-tanah komunal menjadi tanah milik perseorangan
dan membuka penanaman modal secara besar-besaran melalui perluasan tanah.
Petani-petani tunakisma dengan mudah direkrut menjadi buruh di
pertanian-pertanian besar sehingga muncullah stratifikasi social buruh-majikan
(pengusaha) yang amat tajam pada masa itu.
Masa
Tanam Paksa (1830-1870)
Van
den Bosch memanfaatkan adanya ikatan feudal untuk memaksakan kebijakan STP
melalui pengaruh para bupati. Kebijakan ini berupaya memperbesar kekuasaan
bupati dengan cara memberi apanage (pelungguh) berupa tanah yang
diwariskan. STP sangat merugikan kepentingan petani karena membatasi pembukaan
tanah-tanah baru sementara tanah pertanian yang sudah ada terus dibagi-bagi.
Masa
Liberal (1870-1845)
Diberlakukanya
UU Agraria 1870. Hak kuasa feudal terhadap tanah dihapuskan agar tanah-tanah
dapat diperjual-belikan oleh pengusaha swasta dan pemerintah colonial.
Kebijakan tersebut disambut penduduk dengan pembukaan tanah-tanah baru secara
besar-besaran. Pembukaan tanah tersebut menyebabkan semakin pesatnya
peningkatan jumlah penduduk Jawa.
Melalui
UU Agraria, penanaman wajib yang semula menjadi kebijakan STP mulai digantikan
dengan system penanaman bebas. Masuknya system perkebunan ke pedesaan
berpengaruh besar terhadap kehidupan petani. Mereka tidak lagi dapat menguasai
factor dan proses produksi di tanahnya. Situasi ini mendorong petani memasuki
ekonomi uang (monetization) dengan menjadi buruh di perkebunan. Namun
system ini tetap tidak mampu meningkatkan kesejahteraan petani tapi petani
semakin miskin. Hal ini menjadi sebuah fenomena bahwa para petani telah menjadi
kuli di negerinya sendiri.
UUAgraria
yang belaku 1870-1920 ini dianggap sebagai “setengah abad ketidakadilan”. Pada
awal abad ke-20 melalui “Trias Van Deventer”, pemerintah colonial berusaha
memperbaiki kemiskinan yang diderita rakyat Indonesia akibat kebijakan agraria
colonial melalui program-program irigasi, transmigrasi, dan pendidikan.
Konflik-konflik
structural
Kelangkaan
tanah menyebabkan petani mengalami apa yang disebut dengan proses pemiskinan.
Kemiskinan dan kerawanan pangan telah menjadi sebab utama petani melibatkan
diri dalam pemberontakan. Cirri dari gerakan petani secara keseluruhan menampakkan
pola yang sama yakni berupa aktivitas perlawanan dan penolakan terhadap
dominasi asing dan struktur kelembagaan modern yang menyertainya.
Konflik-konflik agraria yang bermunculan pada abad ke-19,diakibatkan oleh
eksploitasi tenaga petani yang melampaui batas.
Konflik-konflik
Berlevel Lokal
Walaupun
hanya bersifat local dan pengaruhnya tidak sangat besar, pemberontakan petani
ini merupakan sebuah gejala bangkitnya manifestasi kesadaran petani atas
situasi hidup yang tidak berdaya akibat tekanan penjajah dan kondisi kerja yang
buruk sangat jauh dengan tata masyarakat yang diimpikan. Keadaan ekonomi,
politik, social dan budaya menjadi factor penentu terjadinya konflik agraria.
Awal abad ke-20, gerakan masa petani dalam bentuk organisasi yang lebih terorganisir
berbeda dengan ideology gerakan sebelumnya yang bersifat sangat tradisional.
Rakyat
vs Raja, Bangsawan dan Kolonial
Dalam
struktur feudal, ada sedikitnya tiga actor yang mempunyai kepentingan terhadap
tanah, yaitu raja, bangsawan dan rakyat. Konflik structural terjadi antara
masyarakat dan pihak kerajaan sebagai akibat penerapan berbagai kewajiban,
sementara konflik horizontal banyak berkaitan dengan konflik yang terjadi
antar-sikep akibat kebijakan kerajaan dalam hal pancasan. Konflik
structural lebih dominan daripada horizontal. Setelah dikeluarkannya UU Agraria
1870, actor yang terlibat konflik mulai bergeser dengan hadirnya pemilik modal
perkebunan.
Peradilan
Agraria Kolonial
Kasusu-kasus
sengketa perdata yang berhubungan dengan pertanahan banyak ditemui di
pengadilan-pengadilan pemerintah colonial Belanda (Landraad). Pada
masa-masa itu kasus yang bersifat massal, penyelesaian secara politik dan
kekerasan banyak terjadi. Dan petani akan selalu dirugikan karena tidak adanya
pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan konflik.
Konflik
Agraria Pada Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1965)
UUPA
dan Pelaksanaan Land Reform
UUPA
1960, pada prinsipnya berisi lima hal, yaitu :
1.
Sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945
2.
Negara membatasi luas maksimal pemilikan tanah untuk menghindari tumbuhnya tuan
tanah yang menghisap tenaga kerja petani melalui system sewa dan gadai
3.
Negara mempunyai wewenang untuk mengeluarkan sertifikat atas tanah bagi warga
Negara Indonesia tanpa membedakan jenis kelamin dan berdasarkan prinsip
nasionalitas
4.
Tanah harus dikerjakan sendiri secara aktif dan melarang pemilikan tanah
pertanian yang tidak dikerjakan sendiri karena akan menimbulkan tanah terlantar
atau meluaskan relasi buruh tani dan pemilik tanah yang cenderung memeras
5.
Negara memberi bukti kepemilikan hak atas tanah untuk member kepastian hukum
kepada petani pemilik tanah
UUPA
ingin melakukan pembaharuan agraria yang dapat memberikan kemakmuran kepada
rakyat Indonesia yang sebagian besar kehidupannya tergantung kepada sector
agraris.
Tujuan
dari diadakannya pembaharuan agraria, antara lain :
a.
Untuk membagi secara adil sumber penghidupan petani dengan merombak struktur
pertanahan secara revolusioner
b.
Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk pertanian agarv tidak terjadi lagi tanah
sebagai objek spekulatif dan obyek pemerasan
c.
Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah baik setiap WNI yang
bersifat social
d.
Untuk mengakhiri system tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan
tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas
maksimal dan minimal untuk tiap keluarga
e.
Untuk mempertinggi produksi dan mendorong pertanian intensif secara
gotong-royong dalam bentuk koperasi dan bentuk lainnya, untuk mencapai
kesejahteraan yang merata dan adil dibarengi dengan system perkreditan yang
khusus ditujukan kepada golongan tani
Upaya
yang dilakukan berdasarkan UUPA untuk menata struktur agraria, yaitu:
1.
Menata pola hubungan penguasaan tanah antara petani pemilik dan buruh tani atau
penggarapnya, di berlakukannya UUPBH (UU Perjanjian Hasil Bagi)
2.
Membatasi luas pemilikan tanah oleh sebuah keluarga
3.
Meredistribusikan tanah Negara kepada petani yang memerlukan atau sebelumnya
menggarap tanah tersebut
Persoalan
land reform adalah persoalan nasional yang bertujuan merombak struktur
agraria di Indonesia yang bersifat feodalisme. Land reform merupakan
persoalan yang sangat kompleks menyangkut segi-segi social, ekonomi dan politik
kehidupan dan penghidpan petani. Pelaksanaanya pun banyak berhadapan dengan
berbagai persoalan seperti persoalan adat, sisa-sisa kekuasaan feudal,
persoalan waris dan persoalan lainnya.
Konflik-konflik
Akibat Pelaksanaan Land Reform
Sejak
diberlakukannya UUPA dan UUPBH, konflik-konflik yang terjadi secara hukum
memperoleh legitimasi. Bentuk-bentuk konflik yang timbul pada masa
dilaksanakannya land reform diantaranya sebagai berikut :
a.
Pendudukan tanah-tanah perkebunan
b.
Proses pengambilan kembali tanah-tanah obyek land reform
Contoh.
Di Jawa Tengah. Beberapa bentuk dan penyebab konflik yang teridentifikasi
diantaranya :
- Sengketa yang berkaitan dengan
tanah kelebihan
- Sengketa yang berkaitan dengan
penguasaan tanah absentee
- Sengketa yang berkaitan dengan
keputusan Menteri Agraria mengenai penunjukan pemilik baru yang dianggap
tidak tepat
- Sengketa yang berkaitan dengan
tanah Negara
- Sengketa yang berkaitan dengan
penduduk tanah perkebunan dan kehutanan
- Sengketa yang berkaitan dengan
tanah-tanah PPN
- Sengketa akibat pelaksanaan
UUPBH
- Sengketa akibat keputusan
pengadilan
Pelaksanaan
land reform menjadi terhambat karena system administrasi yang buruk,
korupsi, manipulasi, dan oposisi dari pihak tuan rumah dan organisasi
keagamaan. Meletusnya pemberontakan G30S/PKI mengakibatkan land reform mengalami
kegagalan.
Konflik-konflik
Horisontal Berlevel Nasional
Organisasi
massa petani yang dikoordinir golongan kiri menuntut supaya pemerintah
meredistribusi tanah secepat mungkin. Akibatnya, pelaksanaan program land
reform yang telah menjadi program nasional menimbulkan konflik-konflik yang
levelnya berskala nasional. Di banyak daerah, konflik-konflik tanah terus
berlangsung oleh sebab yang sama yakni terlepasnya tanah-tanah dari petani kaya
ke sejumlah petani kecil dan tak bertanah.
Petani
Kecil Melawan Tuan Tanah
Program
land reform menyebabkan persengketaan antara petani penggarap dan para
tuan tanah yang sebagian besar adalah golongan agama yang kehidupannya relative
kaya dengan pemilikan tanah-tanah luas. Walaupun berskala nasional namun
cenderung bersifat internal, yaitu antara kelas petani kecil dan buruh tani
yang mendapat dukungan kuat dari golongan kiri melawan kelas tuan tanah dan
pengusaha perkebunan.
Penyelesaian
Konflik
Beberapa
upaya penyelesaian dilakukan pemerintahan Orde Baru, ketika Orba memasuki
tampuk kekuasaan, di antaranya sebagai berikut :
1.
Penghentian pelaksanaan land reform, yang dianggap sebagai sumber
terjadinya konflik di pedesaan
2.
Pembekuan UUPA
3.
Penggantian kebijakan pembangunan pertanian
Konflik
Agraria Pada Masa Orde Baru
Timbulnya
Kapitalisme Agraria
Dua
hal pokok mengenai petani dan konflik agraria di Indonesia pada masa Orde Baru,
yaitu :
1.
Kebijakan agraria lebih menekankan
pada aspek peningkatan produksi tanpa terlebih dahulu menata struktur agraria
dari yang timpang menjadi lebih adil
2.
Penekanan stabilitas politik dalam
mencapai tujuan pembangunan ekonmi
Karena
orientasi pembangunannya lebih menekankan pada pertumbuhan secara cepat, pada
saat bersamaan upaya menciptakan struktur agraria yang egaliter menjadi
terabaikan. Orientasi kebijakan agraria diarahkan untuk mendukung kebijakan
pembangunan ekonomi.
Pada
tahun 1967, pemerintah mengeluarkan UU Penanaman Modal Asing (UU-PMA) dan
diikuti dengan UU Penanaman Modal Dalam Negri (UU-PMDN) tahun 1968. Tujuannya adalah
untuk menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dalam
upaya mengurangi jumlah penduduk miskin tak bertanah di Jawa, pemerintah
mengganti land reform dengan transmigrasi ke luar Pulau Jawa. Hal ini
terealisasikan pada tahun1972 dengan dikeluarkannya UU No. 2/1972 tentang
Ketentuan Pokok Transmigrasi.
Dalam
upaya menjaga stabiitas politik yang berkaitan dengan penyediaan pangan, pada
waktu yang hampir bersamaan, pemerintah mencanangkan program revolusi hijau.
Kebijakan ini bertujuan meningkatkan produksi pangan melalui diintroduksikannya
varientas padi unggul dan teknologi pertanian modern.
Dampak
negative dari revolusi hijau bagi para petani, antara lain :
a.
Karena kebijakan agraria lebih berorientasi kepada produksi, akses petani kecil
dan tunakisma tanah obyek land reform menjadi sangat terbatas
b.
Adanya kebijakan revolusi hijau sangat membatasi kebebasan petani untuk
menentukan komoditas pertanian yang sesuai dengan keinginannya
c.
Petani menjadi tergantung terhadap sarana produksi pertanian, karena semua
jenis sarana tersebut ditentukan oleh pemerintah
Munculnya
fenomena kapitalisme agraria ditandai oleh beberapa hal berikut :
1.
Beralihnya penguasaan asset produksi
2.
Munculnya monopoli di sector agraria
3.
Hilangnya hak-hak tradisional
4.
Konsentrasi penguasaan asset produksi
Kehutanan
Keberadaan
subsector kehutanan sangat diharapkan Negara sebagai sumber kontribusi dana
pembangunan, terutama sekali pada awal kekuasaan Orba. Dikeluarkannya UU Pokok
Kehutanan (UUPK) pada tahun 1967. Tujuan dikeluarkannya UU ini adalah
memberikan berbagai fasilitas eksploitasi hutan kepada penanam modal, baik
asing maupun dalam negeri.
Walaupun
pembangunan kehutanan di Indonesia terhitung sangat intensif dan tingkat
eksploitasi hutannya sangat tinggi, kontribusinya terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) ternyata sangat kecil. Selain itu, kontribusi subsector kehutanan
terhadap penyerapan tenaga kerja juga sangat rendah. Walaupun kontribusi
terhadap perekonomian secara keseluruhan sangat rendah, namun subsector
kehutanan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perolehan devisa.
Pertambangan
Sejak
dikeluarkannya UU Pokok Pertambangan (UUPP) pada tahun 1967, banyak investor
asing yang kemudian menanamkan modalnya di Indonesia. Hampir semua hasil
pertambangan non minyak bumi adalah untuk kepentingan ekspor. Walaupun
kontribusi terhadap devisa sangat besar, secara keseluruhan pendapatan dari
subsector pertambangan secara langsung hanya bisa dinikmati oleh pemerintah
pusat.
Perkebunan
Walaupun
member sumbangan yang cukup besar dalam peningkatan ekspor nonmigas,
pengembangan subsector perkebunan ini mengandung bibit konflik yang cukup
besar, terutama kaitannya dengan masalah pertanahan. Frekuensi konflik
meningkat setelah pemerintah memberi peluang kepada pihak swasta untuk
mengembangkan sector perkebunan melalui pola-pola kemitraan inti-plasma.
Proyek
PIR (Perkebunan Inti Rakyat) di Indonesia adalah proyek intensifikasi,
rehabilitasi, dan ekstensifikasi pertanian untuk berbagai jenis komoditas seperti
tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan yang semuanya
diorientasikan untuk ekspor. Dalam dasawarsa 90-an, investasi modal dalam
perkebunan membutuhkan tanah sebagai modal utama. Ketika pola PIR dikembangkan,
konflik-konflik bermunculan yakni antara rakyat yang sebelumnya bekerja sebagai
penggarap dan perusahaan perkebunan yang diberi hak pemerintah untuk
mengembangkan PIR.
Pariwisata
Ketika
harga minyak bumi di pasaran nternasionbal merosot tajam, sector pariwisata
menjadi sector yang didorong untuk menghasilkan devisa Negara. Upaya untuk
mengeruk devisa dari sector pariwisata ini diantaranya melalui berbagai
program, misalnya Visit Asean Year, Visit Indonesia Year. Namun
pembangunan pariwisata diberbagai daerah yang cukup potensial diwarnai oleh
konflik agraria dengan semakin maraknya kasus-kasus tanah yang menyangkut
pembangunan sarana dan prasarana pembukaan daerah pariwisata baru.
Industri
Perkembangan
industry muncul ketika pemerintah Orba mencanangkan industrialisasi dengan
dikeluarkannya UUPMA dan UUPMDN. Untuk mendorong percepatan pertumbuhan
industry, pemerintah menetapkan kebijakan yang memberikan peluang yang besar
kepada para pengusaha untuk memperluas penanaman investasi di sector industry,
baik dengan cara patungan (joint venture) dengan pengusaha-pengusaha
asing maupun dengan menetapkan kebijakan pemanfaatan relokasi industry yang
daya saingnya menurun di Negara-negara maju. Selain itu juga diberlakukannya
kebijakan penanaman modal, kebijakan moneter, dan pola kebijakan lainnya. Upaya
ini mampu mendorong pertumbuhan sector industry.
Dalam
banyak kasus, pengembangan wilayah industry menimbulkan berbagai konflik
pertanahan yang berkaitan dengan proses pembebasan tanah.
Transmigrasi
Persengketaan
tanah yang diawali dengan pengalihan lahan-lahan penduduk local ke transmigran
(pendatang) merupakan persoalan krusial yang mewarnai persengketaan tanah yang
ada pada masa penerapan kebijakan transmgrasi. Pola sengketa utama adalah tidak
adanya persetujuan yang jelas antara pihak penduduk local dan pihak pemerintah
mengenai hak atas tanah sebelum suatu desa dibuka. Sengketa tanah bermuara pada
persoalan alokasi tanah dari pihak pemerintah untuk lokasi transmigrasi.
Sengketa
Agraria Sektoral
Kehutanan
Konflik
tanah terjadi akibat tumpang tindihnya areal kosensi hutan dan hutan dikuasai
oleh masyarakat adat. Kasus sengketa tanah antara masyarakat adat di Sawahlunto
(Sumatera Barat) dan PT IN yang melarang penduduk mengerjakan tanah yang
diklaim sebagai milik PT IN sebagai pemegang HPH yang sah (Kompas, 22/4/1983)
merupakan contoh kasus sengketa tanah akibat perebutan sumber daya kehutanan
antara masyarakat adat pengelola hutan yang sebagian besar hidupnya masih
tergantung dari sumber daya hutan dan pemodal sebagai pemegang HPH yang difasilitasi
pemerintah.
Selain
oleh pemodal, dominasi Negara juga berperan memunculkan kasus-kasus baru
sengketa tanah. Kebanyakan kasus persengketaan disebabkan penguasaan pemodal
atas tanah-tanah petani. Selain akibat penggusuran tanah-tanah adat,
konflik-konflik tanah disubsektor kehutanan juga muncul akibat perebutan
sumber-sumber ekonomi masyarakat adat yang sebagian besar diambil dari hutan.
Kebijakan
Negara melalui UUPK No 5/1967, lebih menekankan kepada cara Negara dalam
memperoleh devisa melalui sector kehutanan, bukan karena perlindungan terhadap
hak-hak masyarakat local. UU ini tidak mampu dalam menekan konflik tumpang
tindih lahan dengan peruntukan lain.
Transmigrasi
Kasus-kasus
sengketa tanah di lokasi transmigrasi kadang terjadi sebagai akibat kebijakan
transmigrasi yang sering mengabaikan hak-hak masyarakat local. Kesalahan
pemilihan lokasi bagi transmigran mengakibatkan terjadinya berbagai kasus
persengketaan dan konflik antara masyarakat adat dan para transmigran.
Pertambangan
Konflik
pertambangan yang pertama muncul dalam masa Orba adalah konflik yang terjadi
antara masyarakat Suku Amungme dan PT Freeport Indonesia. Mereka menentang
pembuldoseran tanah mereka untuk kepentingan pertambangan. Suku Amungme
melakukan perusakan terhadap beberapa fasilitas Freport. Aksi ini kemudian
dapat dipadamkan dengan aksi militer.
Perkebunan
Konflik
yang terjadi adalah antara rakyat dan perusahaan Negara sebagai akibat
perebutan tanah-tanah komoditas tertentu yang sesuai dengan keinginan pihak
pemodal. Kasus sengketa tanah yang terjadi antara petani penggarap dan pihak
perkebunan Negara yang berusaha mengambilk alih penguasaan tanah dari tangan
petani penggarap. Contoh : kehidupan penduduk Air Batu (Kab. Asahan) terusik
ketika PTP V membebaskan lahan garapan mereka untuk pengembangan perkebunan.
Dalam
pola PIR-BUN, proses-proses pengambilalihan tanah yang digarap petani oleh
pihak pemodal merupakan salah satu bentuk konflik agraria disubsektor
perkebunan yang semakin merebak di masa Orde Baru.
Industri
Rumitnya
pengaturan masalah tanah dalam proses industrialisasi telah mengakibatkan
kasus-kasus sengketa tanah dalam bentuk berbagai proses penggusuran dan
pengambilalihan tanah-tanah untuk pengembangan kawasan industry.
Contoh
kasusnya adalah : sengketa tanah milik petani Kedungombo untuk pembangunan
waduk. Sengketa tanah ini menjadi kasus yang melebar dan lama pemecahannya
karena tidak berusaha diselesaikan secara tuntas.
Pariwisata
Sengketa
tanah di sector pariwisata adalah semakin maraknya kasus yang menyangkut
pembangunan tempat-tempat pariwisata. Kasus-kasus sengketa tanah antara pihak
pengembang sector pariwisata dan pemilik tanah di kawasan yang hendak
dibebaskan banyak terjadi, baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa.
Contoh
: Cangkringan, Sleman, DIY, kasus sengketa tanah antara petani vs pihak
pengembang pariwisata. Warga dari empat dusun menolak tanah mereka digusur dan
akan digunakan untuk pembangunan kawasan wisata. Warga kemudian mengadakan
unjuk rasa dan mengadukan masalahnya ke DPRD (Republika, 31/5/1994).
Sengketa
Agraria Regional
Potensi
sumber daya alam yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia,
mengakibatkan para pemodal berlomba-lomba menguras sumber daya agraria yang
ada. Sehingga memicu timbulnya kasus-kasus sengketa tanah di banyak pulau-pulau
besar di Indonesia.
Sulawesi
Sulawesi
yang wilayahnya cukup luas dan bahkan dicanangkan menjadi daerah tujuan
transmigrasi ternyata masih ditemukan cukup banyak keluarga petani yang tidak
memiliki tanah. Dukungan politik dari pemerintah menyebabkan semakin pesatnya
perkembangan perkebunan besar milik swasta di Sulawesi. Diambilnya tanah-tanah
adat untuk kepentingan pengembangan perkebunan besar dan pembangunan telah
menyebabkan berbagai aksi penolakan rakyat. Kasus ini terjadi di Gorontalo,
ketika PT NM membebaskan lahan milik warga yang akan digunakan untuk
pembangunan industry gula.
Kalimantan
Persoalan
konflik internal yang berkembang di masyarakat adat dalam penguasaan dan
pemilikan tanah, yang variatif. Selain konflik internal, persoalan eksternal juga
mewarnai pokok munculnya sengketa tanah yakni kuatnya hegemoni Negara dalam
menguasai dan memiliki tanah, di samping pemerintah sendiri tidak mengakui hak
masyarakat adat untuk mengelola sumber daya alam. Perusahaan swasta biasanya
menggunakan cara penyerobotan, pemaksaan dan pemberian ganti rugi yang tidak
layak dengan dalih telah direstui pemerintah untuk kepentingan pembangunan.
Jawa
Perebutan
penguasaan tanah garapan petani masih mendominasi sebab konflik persengketaan
tanah di hampir seluruh wilayah Jawa. Ganti rugi yang diberikan dalam
pembebasan tanah dianggap tidak memadai. Contoh : tanah untuk jalan dan
pariwisata, seperti kasus sengketa tanah karena pembangunan kawasan wisata di
Bali.
Nusa
Tenggara Timur
Provinsi
ini merupakan daerah yang cukup potensial untuk memunculkan konflik-konflik
yang berhubungan dengan permasalahan agraria. Di kawasan ini, berlaku
hukum-hukum adat yang mengatur pengambilan sumber-sumber alam. Pelanggaran
terhadap hukum-hukum adat akan menyebabkan konflik-konflik dengan masyarakat
yang masih memegang teguh adat. Contoh : kasus Molo Selatan 1972, lahan
diambilalih oleh Dinas Kehutanan untuk kawasan hutan. Rakyat baru melakukan
perlawanan di tahun 1995.
Sumatera
Konflik
tanah terjadi hampir diseluruh daerah sumatera. Contoh : konflik tanah di
Sumatera Utara, fenomena yang nama adalah :
1.
Tidak dikembalikannya tanah-tanah rakyat yang disewa oleh pihak perkebunan
setelah habis masa sewanya
2.
Pengembalian kembali lahan perkebunan bekas Belanda maupun yang habis masa
HGU-nya yang dikuasai masyarakat oleh pihak perkebunan
3.
Pemberian hak kepada pihak perkebunan untuk menggarap areal hutan yang
dilindungi dan melarang rakyat untuk menggarapnya
Kasus
sengketa tanah yang terjadi di sebagian besar daerah di Pulau Sumatera adalah
mengenai perebutan areal perkebunan yang digarap petani dan kemudian dikuasai
pihak lain.
Irian
Tidak
adanya kepastian hukum yang jelas terhadap pemilikan tanah oleh masyarakat adat
memicu timbulnya konflik. Lemahnya posisi rakyat menyebabkan penguasaan tanah
digunakan oleh pihak swasta dan Negara untuk pengembangan perkebunan besar dan
pemberdayaan hutan.
Kasus
masyarakat vs perusahaan karena adanya perbedaan konsep tentang hak milik
tanah. Masyarakat adat di Irian tidak mengenal lembaga jual beli, karena mereka
masih hidup sebagai masyarakat agraris dengan pola hidup subsisten yang sangat
tergantung kepada hutan, tanah dan lingkungan.
Konflik-konflik
Vertikal-Struktural
Actor
yang mempengaruhi dinamika politik adalah semacam pressure group dan
media masa yang jumlahnya terbatas dalam mengartukulasi kepentingan-kepentingan
pihak yang berkonflik, yaitu rakyat. Konflik-konflik yang muncul muncul pada
periode ini banyak berkaitan dengan transmigrasi dan eksploitasi sumber daya
agraria. Konflik yang bersifat vertical-struktural yaitu antara masyarakat yang
mempertahankan hak atas tanah di satu pihak dan pemerintah dan pemilik modal
yang melakukan model pembangunan lapar tanah di lain pihak.
Dimensi
structural-vertikal dapat dipahani dalam proses akumulasi factor produksi
sebagai berikut :
1.
Konflik terjadi dalam konteks perebutan sumber daya agraria
2.
Konflik terjadi dalam konteks pemaksaan terhadap komoditas tertentu
3.
Konflik terjadi dalam konteks massa mengambang
Konflik
yang terjadi cenderung melibatkan aparat pemerintahan baik sipil maupun
militer. Tekanan aparat dapat diamati dari besar tidaknya pengaruh politik yang
ditimbulkan. Tekanan aparat sangat bervariasi, diantaranya:
a.
Pencapan sebagai anggota organisasi terlarang
b.
Pencabutan fasilitas hak-hak sipil
c.
Kekerasan fisik/senjata
d.
Kekerasan fisik tanpa senjata
e.
Intimidasi terror
f.
Pembuldoseran
g.
Penangkapan
Perlawanan
yang dilakukan oleh petani, antara lain :
a.
Menolak pengambilan tanah
b.
Melakukan aksi delegasi ke lembaga politik
c.
Meminta bantuan LBH/LSM atau Komnas HAM
d.
Melakukan perlawanan fisik
e.
Perusakan
f.
Menggugat ke pengadilan
Pembelaan
Rakyat Melawan Pembela Kepentingan Pembangunan
Petani
tetap bertahan dalam menghadapi kasus sengketa tanah dan berusaha tetap pada
posisinya dalam menghadapi usaha penguasaan atas eksistensinya. Seandainya
akibat dari penguasaan ini dirugikan, petani akan bereaksi untuk bertahan atau
berusaha untuk tetap hidup samapi ambang batas minimal.
Level
Konflik
Tidak
meratanya level konflik berkaitan pula dengan ketidakberdayaan partai politik
dalam mengangkat isu konflik tersebut dan ketidakeberakaran mereka kedalam
masyarakat pedesaan. Dlihat dari dampak atau kaitan konflik tanah dengan
masalah lain, konflik yang terjadi hanya sebatas masalah agrarian. Hal ini
berkaitan dengan kondisi perlawanan petani atau pihak yang berkonflik yang
lebih terfokus pada upaya mempertahankan hak yang sudah ada, dan bukan
merupakan sebuah gerakan yang ingin mengubah strategi kebijakan yang lebih
besar.
Penyelesaian
Kasus per Kasus
Sampai
saat ini belum ada upaya yang bersifat structural, yaitu menyesuaikan kebijakan
yang ada agar lebih memihak kepada kepentingan petani kecil. Upaya peradilan
cenderung merugikan pihak petani sehingga petani memilih jalur di luar
pengadilan dalam usaha menyelesaikan konflik. Diterapkannya MAPS (Mekanisme
Alternatif Pemecahan Sengketa) yang merupakan pengembangan bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa alternative di luar pengadilan.
Gambaran
ke Depan
Konflik
agraria yang muncul di Indonesia sangat berkaitan dengan dimensi politik dan
ekonomi dalam konteks hubungan-hubungan agraris serta kebijakan-kebijakan
agraria pada suatu periode tertentu. Kebijakan ini akan mempengaruhi bentuk
konflik yang timbul, actor yang terlibat, serta level konfliknya.
Pada
masa prakolonial atau feudal, pola hubungan vertical dalam penguasaan tanah
menentukan bentuk konflik agraria yang sifatnya vertical dan horizontal.
Aktornya adalah “raja vs rakyat”. Masa colonial konflik agrarian bersifat
structural, rakyat vs pemerintah colonial dan pemilik modal asing. Orde Lama,
konflik bersifat horizontal, karena system politik yang pluralistic. Orde Baru,
untuk mendorong kesuksesan program pembangunan ekonomi nasional pemerintah
mengalokasikan penggunaan sunberdaya agraria digarap secara modern yang
dianggap lebih cepat daripada sector tradisional.
Pada
masa feodalisme, actor yang berkuasa dalam alat produksi (tanah) adalah raja,
sementara rakyat hanya berhak menggunakan dan menggarapnya. Pada masa colonial,
tanah dikuasai oleh pemerintah colonial dan pemodal asing yang berhasil
mengambil alih dari tangan raja. Pada masa ini timbullah kapitalisme. Pada masa
Orde Lama, adanya UU Land Reform. Konflik terjadi antara pihak yang pro
dan kontra terhadap program land reform. Orde Baru, menekankan pada
peningkatan produktifitas tetapi mengabaikan pembenahan struktur agraria.
Sepanjang sejarah posisi petani tetap lemah, baik secara politik maupun
politik.
Visi
Masa Depan Kebijakan Agraria
Pembangunan
Jangka Panjang II (PJP II) Indonesia tetap meberikan penekanan pada pertumbuhan
sector industry. Industry dengan mengeksploitasi sumber daya agraria memberikan
devisa yang besar bagi Negara. Dengan program effective land market akan
menarik investor asing ke Indonesia akibatnya kebijakan agraria ini masih akan
memihak kepada kepentingan pihak-pihak yang secara langsung mampu memberikan
kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, dan petani akan semakin terabaikan.
Pola-pola kebijakan dan hubungan produksi yang ada tidak lepas dari pengaruh
kapitalisme global yang dewasa ini sangat dominan. Perlun diadakan kembali
struktur dan relasi agraria sebagai upaya pencegahan terjadinya konflik