Minggu, 15 Januari 2012

Supersemar, Sumber Sejarah yang Hilang



Oleh : Dasman Djamaluddin

Mantan Presiden RI kedua Soeharto yang wafat pada hari Ahad, 27 Januari 2008, memunculkan berbagai polemik sekitar pemerintahannya selama 32 tahun. Banyak di antaranya mendukung, tetapi banyak pula yang mengecam. kita berharap kepergian Soeharto merupakan awal dari terbukanya tabir kegelapan sejarah bangsa Indonesia yang selama ini ditutup-tutupi.

Kepergian orang nomor satu di Indonesia tersebut mendapat tempat yang istimewa di berbagai media massa. Ini membuktikan, lengsernya Soeharto sebagai seorang Presiden pada 21 Mei 1998 tidak memudarkan pengaruh yang telah dibinanya selama ini, karena hingga menghembuskan nafas terakhirnya, masih banyak para pejabat atau mantan pejabat dalam dan luar negeri berkunjung ke rumahnya di Jalan Cendana.

Selain itu, keterkaitan Soeharto dengan hilangnya Supersemar tidak dapat diragukan, karena naskah asli tersebut dipegang oleh beliau :
"Naskah asli Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang tidak diketahui keberadaannya selama 40 tahun saat ini berada di tangan mantan Presiden Soeharto," ujar Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla dalam sambutannya pada peluncuran buku memoir Jenderal M.Jusuf Panglima para Prajurit di Jakarta, Jumat malam (10 Maret) 2006. foot note : "Naskah asli Supersemar Dipegang Soeharto," Media Indonesia (Sabtu, 11 Maret 2006): 12 Kepergian Soeharto seakan-akan telah diatur sebelumnya, karena hari wafatnya berselang tidak lama dengan tahun peringatan ke-42 lahirnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar/ 11 Maret 1966-11 Maret 2008) yang merupakan titik tolak seorang anak dari Desa Kemusuk (Jawa Tengah) itu menapak langkahnya menjadi Presiden

Hari ini dengan diselenggarakannya Seminar Nasional bertema: "Implikasi Wafatnya Soeharto terhadap Kebenaran Sejarah Supersemar," juga merupakan langkah terpuji buat seorang ilmuwan untuk mengkaji lebih mendalam tentang kebenaran sejarah 42 tahun lalu. Tujuannya antara lain untuk kepentingan umum. Ini pula yang dimaksud oleh Vaclav Havel (foot note: Vaclav Havel adalah Presiden Pertama dan terakhir Republik Cekoslovakia sesudah tahun 1989. Dia bukan berasal dari politikus, tetapi dari seorang seniman, penulis dan lakon teater yang berhasil mengantar rakyatnya membuang sistem komunis. Tetapi tidak lama kemudian dia sangat kecewa dengan hasil referendum di mana rakyatnya terpecah menjadi dua, bergabung dengan Ceko dan Slovia) bahwa seorang ilmuwan tugasnya adalah membaktikan hidupnya untuk berpikir demi kepentingan umum dan bahkan menafikan kepentingan pribadinya. Jika seseorang sudah lebih banyak memikirkan dirinya sendiri dan mengabaikan kepentingan umum, maka boleh jadi keilmuawan seseorang tersebut perlu diragukan, karena biasanya seorang ilmuwan atau juga disebut dengan intelektual, cendekiawan atau cerdik pandai mempraktikan hidup dalam kesederhanaan, jujur dan rela berkorban. Sehingga seorang cendekiawan, agamawan dan seniman di dalam menjalankan fungsinya masing-masing punya getaran gelombang yang sama.

Mempelajari dan menggali sejarah masa lalu buat seorang ilmuwan tidak mudah. Dia dihadapkan dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan dari mana sumber bahan penulisannya diperoleh. Kalau sumbernya telah ditemukan, maka masih ada sederet pertanyaan yang harus diajukan. Apakah sumber yang diperolehnya itu otentik (asli), apakah sumbernya shahih, sah dan benar (validity), terpercaya, sungguh-sungguh benar (realibility) dan kuat (perihal dapat dipercaya tadi /kredebility) ? Jika hl ini telah terpenuhi, barulah ilmuwan tersebut memenuhi kreteria sebagaimana diungkapkan oleh W.S.Rendra bahwa seorang cendekiawan harus "berumah di angin", tidak mau terikat oleh suatu sistem yang menghalangi kebebasannya.

"Ia harus bebas pula dari ikatan bathin sehingga konsekuen menurut keyakinan intelektualnya dan jangan terjadi sebagaimana Julien Benda katakan sebagai 'pengkhianatan kaum cendekiawan'," ujar W.S.Rendra yang baru saja memperoleh Doktor Kehormatan dari Universitas Gajah Mada (foot note: Dick Hartoko (ed), Golongan Cendekiawan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT.Gramedia, 1980), hal.ix)

Penghilangan Sumber
Sumber sangat penting bagi kemajuan sebuah bangsa, bahkan maju atau tidaknya peradaban sebuah bangsa ditentukan oleh sumber-sumbernya. Itulah sebabnya ketika sebuah bangsa berkeinginan menghancurkan bangsa lainnya, yang dilkukannya pertama kali adalah menghancurkan kebudayaannya dengan menghancurkan perpustakaan, museum dan pusat-pusat kesenian lainnya. Atau dengan istilah lain," menghancurkan peradabannya."

Jika hal tersebut telah dilakukan, maka bangsa tersebut tidak lagi punya harga diri dan tidak punya lagi sumber-sumber kebudayaan yang patut dibanggakannya, sehingga masuklah kebudayaan bangsa si penyerang sebagai pengganti budaya bangsa yang diserang.

Apa yang terjadi di Indonesia di masa Orde Baru--sebuah istilah yang sejak awal tidak saya setujui, karena istilah tersebut berkonotasi merendahkan apa yang telah dihasilkan pemerintahan sebelumnya, Orde Lama--sangat mirip dengan "penghilangan sumber" yang pernah dilakukan bangsa-bangsa terdahulu. Bedanya, di masa Orde Baru "penghilangan sebuah sumber" dilakukan oleh bangsanya sendiri, bukan oleh bangsa lain.

Berbagai penghilangan sumber di masa Orde Baru, salah satunya apa yang pernah diungkapkan oleh Majalah TEMPO, 28 Juli 2002. Majalah tersebut mengungkap penghilangan dokumentasi tentang aktivitas parlemen Indonesia sejak era Konstituante hingga MPRS. Dokumen ini dimusnahkan pemerintah Orde Baru. Buku yang diterbitkan sebnyak 120 jilid, berjudul Laporan MPRS 1966-1972 tidak lagi kita temukan di perpustakaan-perpustakaan sebagai pusat kebudayaan bangsa untuk mencerdaskan generasi penerus, begitu pula di Arsip Nasional. Pada tahun 1972, pemerintah melarang peredaran buku tersebut dan buku yang berhasil ditemukan dibakar.

"Abdul Kadir Besar, sejumlah pengurus MPRS, dan pengelola Percetakan Siliwangi malah sempat diinterogasi. Tudingannya seram, membocorkan rahasia negara. Pak Nasution dicekal dari tahun 1972 sampai 1993, sejak itu, penjagaan dan fasilitas ditarik. Bahkan air PAM di rumah dicabut. Setiap hari intelijen mengamati kami. Semua yang dekat-dekat Pak Nas akan dibikin susah, sehingga orang takut datang. Yang setia adalah Surono dan Wiyogo Admodarminto, Soepardjo Roestam juga pernah datang, tapi cuma sebentar, lalu pergi. Yang lain menjauh. Seolah-olah kami ini penderita lepra. Sewaktu Adam Malik meninggal, Bapak datang. Tiba-tiba ada tentara yang menarik Bapak dan menyuruh mundur dengan cara yang tidak sopan. Kurang ajar sekali mereka," ujar isteri Pak Nasution, Yohana Sunarti Nasution.
Selanjutnya Bu Nas mengatakan:
"Pak Nas bilang sudah memaafkan Pak Harto. Cuma ada satu orang yang tidak mau dia maafkan. Tapi saya tak akan bilang siapa. Bapak bilang TNI sudah meninggalkan tugas seharusnya. TNI harusnya dekat dengan rakyat, bukan ikut memeras rakyat. Mengapa sekarang jadi begini ? TNI sekarang masuk ke segala peran. Orang jadi mempermasalahkan Pak Nas sebagai penggagas dwi fungsi. Padahal dwifungsi yang dilakukan Pak Harto bukan yang dimaksud Pak Nas. Prinsipnya TNI punya hak juga di negeri ini. Tapi jangan di semua tempat."
Selain itu, tidak ditemukannya naskah pidato Presiden Soekarno pada bulan Mei 1966 di Sekretariat Negara, juga menjadi tanda tanya. Hal ini terungkap dari pernyataan Asvi Warman Adam, Sejarawan dan Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoneisa (LIPI) di dalam kata pengantar buku: Revolusi Belum Selesai.

Buku yang diterbitkan dalam dua jilid itu berisi kumpulan sebagian pidato Presiden Soekarno, yang dimulai sejak pasca peristiwa Gerakan 30 September. Mengherankan, pidato politik yang disampaikan sebanyak 103 kali tersebut tidak memperoleh tanggapan dari rakyatnya. Majalah TEMPO memberi perhatian besar terhadap terbitnya buku tersebut dan berkomentar:

"...pidato itu juga melukiskan kesunyian seorang Bung Besar. Perintahnya tak dituruti, pidatonya hanya menjadi kembang api, membuncah lalu hilang bersama malam. Hampir dua tahun suara Bung Karno nyaris tidak terdengar. Ia seperti tokoh dalam novel Gabriel Garcia Marquez, lelaki yang melewati waktunya dalam 100 tahun kesendirian."

Sepertinya penghilangan dokumen masih saja terjadi hingga sekarang. Baru-baru ini, hilangnya berkas penyelidikan pro justia kasus pelanggaran hak asasi manusia berat dalam tragedi Trisakti tahun 1998, Semanggi I dan Semanggi II, serta peristiwa penghilangan orang yang ada di Kejaksaan Agung, sungguh disesalkan.

Peranan TNI
Orde Baru juga disebut kemenangan TNI (dulu istilahnya ABRI) terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), karena pada Masa Sistem Politik Demokrasi Terpimpin, golongan militer tidak mendapat kesempatan lebih besar dalam kegiatan politik. Peranan militer semakin jelas terlihat ketika sedang membahas konsep Orde Baru di dalam Seminar Angkatan darat (AD) II 1966 yang berlangsung di Graha Wiyata Yudha, Seskoad Bandung, 25 - 31 Agustus 1966. Wlaupun terdapat kalangan sipil, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Tujuan seminar pada waktu itu adalah untuk mengoreksi total serbagai ketimpangan-ketimpangan di masa Orde Lama. Jadi koreksi total adalah semangat Orde Baru.

Sangat jelas, bahwa di saat-saat mendirikan Pemerintahan Orde Baru, peranan TNI khususnya Angkatan Darat sangat besar. Itulah sebabnya mengapa para pelaku sejarah Supersemar adalah dari kalangan militer, termasuk Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat yang bukunya telah diterbitkan thun 1998 dan sebelumnya telah memperoleh persetujuan keluarga untuk ditulis pada tanggal 7 November 1996.

Pada masa Orde Baru, TNI tidak hanya berpengaruh terhadap salah satu partai politik saat itu (Golkar), walaupun saat itu enggan disebut sebuah partai, tetapi juga terhadap posisi TNI yang secara terang-terangan berada di lingkaran kekuasaan. TNI tidak hanya menunjukkan pengaruhnya di pemerintahan, tetapi di parlemen berlaku aturan-aturan khusus untuk TNI. Hal tersebut dinyatakan dengan tegas dalam Sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) pada bulan Februari 1967, di mana Fraksi ABRI mengemukakan, bahwa ikut sertanya ABRI dalam politik adalah suatu keharusan dalam kehidupan sistem politik di Indonesia. Dengan dalih menjaga kekompakan, maka masuknya wakil-wakil ABRI dalam badan perwakilan haruslah dengan pengangkatan. Sehingga Soeharto di masa Orde Baru memegang tiga wewenang sekaligus. Dia adalah Panglima Tertinggi ABRI, Kepala Eksekutif dan Ketua Dewan Pembina Golkar.

Tetapi bagaimana selanjutnya ? Pada satu sisi Pemerintahan Orde Baru berkeinginan mengoreksi total berbagai ketimpangan-ketimpangan di masa Orde Lama, tetapi pada saat bersamaan pula pemerintah Orde Baru juga membuat kekeliruan di dalam menjalankan roda pemerintahan selama 32 tahun.

Pertama, di dalam hal membuabarkan sebuah partai, yaitu PKI. Soeharto tidak mengacu kepada penetapan Presiden Republik Indonesia No.7 tahun 1959 yang masih berlaku saat itu. Di mana di dalam pasal 9 ayat 1 nya dinyatakan bahwa :
Presiden, sesudah mendengar MA dpat melarang dan/atau membubarkan partai yang:
1. Bertentangan dengan azas dan tujuan Negara
2. Programnya bertentangan dengan azas dan tujuan Negara
3. Dan melakukan pemberontakan
4. Tidak memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan.

Dengan ketentuan ini jelaslah bahwa tindakan Soeharto membubarkan PKI telah menyalahi aturan hukum. Hanya dengan berbekal Supersemar, Soeharto yang mengatasnamakan Presiden Soekarno dapat membubarkan sebuah partai, yaitu PKI.

Kedua, Supersemar meningkat menjadi Tap MPRS sebenarnya menjadi tinggi sekali dan menjadi Sumber Hukum Tata Negara, tetapi pada dasarnya tidak layak. Supersemar tidak lebih hanyalah merupakan surat perintah, tidak termasuk di dalam perundang-undangan dan bukan pula suatu peraturan kebijakan. Jika dinyatakan bahwa Supersemar tersebut tidak perlu dipersoalkan lagi karena setelah dikeluarkan dan suratnya berlaku selesai, permasalahannya bukan terletak pada manfaat surat pada saat itu, tetapi kembali kepada uraian di atas, bahwa bangsa ini setelah masa reformasi tidak hanya mereformasi peraturan-peraturan atau lembaga-lembaga peraturan, tetapi yang lebih penting adalah mereformasi budaya hukumnya.

Supersemar muncul dalam ketetapan MPRS No.XIX/MPRS/1966 tentang Sumber, Tertib Hukum dan Tata Urutan Perundangan RI. Urutan Sumber Tertib Hukum pada waktu itu adalah: Pancasila, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Undang-Undang dasar Proklamasi 1945 dan Surat Perintah 11 Maret 1966.

Selanjutnya terlihat sangat jelas bagaimana Soeharto sudah dipersiapkan menjadi Presiden. Hal ini dapat dibaca dalam Ketetapan MPRS No.XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden. Pada dasarnya dinyatakan bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politik psychologis, MPRS menganggap lebih baik tidak mengisi lowongan jabatan Wakil Presiden. Selanjutnya ditegaskan, oleh karena itu dipandang perlu untuk membuat ketentuan mengenai pejabat Presiden, apabila Presiden sewaktu-waktu berhalangan, mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya guna menghindarkan kekosongan dalam Pimpinan Negara dan Pemerintahan.

Ketiga, adanya Surat Perintah Presiden Soekarno, tanggal 13 Maret 1966 yang tidak diindahkan Soeharto. Surat tersebut dikeluarkan sebagai koreksi terhadap penyelewengan pelaksanaan Supersemar. Surat sepanjang satu pragraf itu baru disebarluaskan pada hari Senin, 14 Maret 1966. Isi surat tersebut diungkapkan kembali dalam pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1966. Nasib surat ini sama dengan Supersemar, yaitu "hilang."

Keempat, telah terjadi penangkapan-penangkapan tanpa prosedur, termasuk penangkapan-penangkapan di jajaran eksekutif (para menteri Kabinet Dwikora yang tanpa sepengetahuan Bung Karno) dan anggota legislatif, sehingga memuluskan jalan bagi Soeharto mengemukakan gagasan-gagasannya. Pembersihan oknum-oknum partai di Parlemen bertujuan untuk membersihkan orang-orang yang dekat dengan sikap Bung Karno. Praktis di MPRS, Bung Karno tidak punya kekuatan. Pada komposisi MPRS yng demikian, Sidang istimewa berlangsung, maka menjadi hal yang sangat wajar bila Pidato Pertanggungjawaban Bung Karno, berjudul: Nawaksara ditolak.

Pada Sidang Istimewa yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 7-12 Maret 1967 melalui Ketetapan No.XXXIII/MPRS/67, MPRS menetapkan mencabut kekuasaan pemerintah negara dari Presiden Soekarno dan dengan ketetapan yang sama, MPRS mengangkat Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/66, Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
"untuk sementara waktu kami akan memberlakukan beliau sebagai Presiden yang tidak berkuasa lagi, sebagai Presiden yang tidak mempunyai kewenangan apa pun di bidang politik,kenegaraan dan pemerintahan." /foot note: Robert Edward Elson, Suharto Sebuah Biografi Politik (Suharto: a Political Biography), diterjemahkan oleh Satrio Wahono dan IG Harimoerti Bagoesoka (Jakarta: Pustaka Minda Utama, 2005), hal.298-299.

Pertanyaan yang muncul, siapa yang menandatangani surat keputusan pembentukan Kabinet Ampera yang Disempurnakan, karena pembentukan kabinet tersebut disebutkan berdasarkan Keputusan Presiden No.171 tahun 1967, apakah di dalam berbagai peraturan diperbolehkan seorang pejabat Presiden mengatasnamakan Presiden untuk menandatangani sebuah surat keputusan atau sejauh manakah sahnya sebuah surat keputusan bila ditandatangani oleh seorang presiden yang kekuasaannya telah dicopot ?

Jika kita kembali sejenak ke belakang, sejarah mencatat,bahwa telah terjadi pula berbagai penangkapan anggota PKI dan anggota organisasi yang terkait. Sampai Oktober 1965, sudah 1.334 orang di wilayah Jakarta yang ditahan dengan alasan terlibat PKI./foot note: Ibid, hal.239. Banyak sumber yang memberitakan jumlah pembantaian tahun 1965/1966 terutama di Jawa, Sumatera dan Bali, merupakan jumlah terbesar. Jumlah pembantaian itu tidak mudah diketahui persis, tetapi dari 39 artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12), jumlah korban berkisar 78.000 jiwa hingga dua juta jiwa /foot note: Asvi Warman Adam,"Pembantaian 1965, Kekerasan Terbesar dan Rekonsiliasi," Kompas (4 Desember 2000): 40.

Selanjutnya Robert Cribb mengatakan bahwa pembantaian tahun 1965 dilakukan dengan memakai alat sederhana, seperti pisau, golok dan senjata api. Caranya juga sederhana, tanpa harus terlebih dulu dimasukkan ke kamar gas seperti dilakukan Nazi. Orang yang akan dieksekusi juga tidak dibawa jauh-jauh sebelum dibantai,biasanya mereka bunuh di dekat rumahnya. Ciri lain dari kejadian itu biasanya dilakukan pada malam hari.Pembunuhan berlangsung relatif cepat, hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya dalam empat tahun. Bahkan kasus kekejian tahun 1965 tersebut sempat menjadi perhatian mantan Ibu Negara Perancis, nyonya Francois Mitterand, yang bersama rombongan menyempatkan diri mengunjungi Klaten dan menengok lokasi "killing field" (ajang pembantaian) di daerah sekitar Pandansimping./footnote:Lihat Bernas, 4 September 2000,'Mantan Ibu Negara Perancis ke Klaten Tertarik Cerita "Killing Field" di Pandansimping. Lihat juga cerpen GM Sudarta, Kompas, 10 Februari 2005.

Pembersihan sisa-sisa PKI tidak hanya di Jawa, tetapi juga di Sumatera Utara.Pembersihan sisa-sisa PKI dilakukan tanpa mengindahkan rasa kemanusiaan. Ada nuansa balas dendam politik yang memang tak terelakkan.Ia menjadi soal, lantaran korban dendam itu tidak hanya dirasakan oleh mereka yang diduga terlibat G.30.S, teapi juga keturunan mereka. Tidak cuma antek, tetapi juga keturunan mereka. Tidak cuma anak, tetapi cucu dan menantu. Stigma PKI khas Orde Baru benar-benar membuat berjuta anak Indonesia mengalami kematian perdata./foot note: Tim Investigasi,"Sejarah Hitam Pasca G-30-S, Majalah Tajuk No.23, TH.II (3 Januari 2000):68-71.

Kelima, pers mengalami apa yang dinamakan "pemasungan", sehingga peristiwa-peristiwa pada saat peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto banyak yang tidak diketahui dengan pasti oleh masyarakat. Hal ini terkait dengan peristiwa sebelumnya, di mana pada bulan Februari 1965, Menteri Penerangan Achmadi melarang terbit 21 surat kabar di Jakarta dan Medan karena mendukung Badan Pendukung Soekarno (BPS). Hanya yang leluasa memberitakan peristiwa-peristiwa itu adalah media-media yang sangat dekat dengan kekuasaan militer, seperti Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Kedua surat kabar ini pula yang memberitakan masalah Supersemar. Harian Angkatan Bersenjata memberitakan tanggal 12 Maret 1966 pagi dan sore, anehnya harian itu sudah tahu lebih dahulu tentang Supersemar. Sedangkan Berita Yudha memberitakan tanggal 13 Maret 1966.

Keenam, Soeharto sebagai Menpangad pada waktu itu tidak lagi patuh kepada Presiden Soekarno, sebagaimana diungkapkannya :
"Beliau mempunyai satu pendirian, saya punya pendirian lain. Tetapi saya tidak menentang begitu saja. Saya sebagai bawahan, sebenarnya harus taat. Apa yang diperintahkannya seharusnya saya patuhi. Tetapi saya sebagai pejuang tidak mungkin patuh begitu saja." /foot note: G.Dwipayana dan Ramadhan, K.H., Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (Jakarta:PT.Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hal.167.

Sebaliknya Presiden Soekarno, sejak awal telah menganggap Soeharto sebagai perwira yang "begudul" (kepala batu). Hal tersebut diungkapkan beliau pada pidato 20 November 1965 di depan ke empat panglima angkatan di Istana Bogor.

Bung Karno mengatakan bahwa ada perwira yang begudul. "Begudul! Itu apa ? Hei, Bung, apa itu begudul? ya, Kepala Batu. Saya yang ditunjuk MPRS menjadi Panglima Besar Revolusi. Terus terang bukan Soebandrio. Bukan Leimena. Bukan engkau Soeharto, bukan engkau Soeharto..." berbeda dari nama lain, Soeharto disebut dua kali secara berturut./foot note: Setiyono, loc.cit.

Supersemar dan Perang Dingin
Faktor penting munculnya Supersemar tidak dapat dilepaskan dari terjadinya "Perang Dingin" antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Dimulai dengan konsep pembendungan komunisme melalui Doktrin Truman (Truman Doctrin) yang diumumkan pada tahun 1947 sebagai reaksi Amerika serikat terhadap ekspansi komunisme Uni Soviet setelah Perang Dunia II di Eropa Tengah dan Eropa Timur, dan yang kelihatan akan menjalar ke wilayah Laut Tengah, termasuk Turki dan Yunani./foot note: Lie Tek Tjeng, Percaturan Politik Di Kawasan Asia Pasifik Dilihat dari Jakarta (Jakarta: PT.Karya Unipress, 1983), hal.37

Konsep Doktrin Truman disusul oleh Marshall Plan yang bertujuan membantu rehabilitasi Negara-negara Eropa yang telah hancur sebagai akibat Perang Dunia II. Kemudian disusul dengan pembentukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang merupakan persekutuan militer raksasa Barat untuk membendung komunisme mulai dari Samudera Atlantik sampai ke Laut Tengah. sasaran utamanya adalah Uni Soviet.

Pada tanggal 1 Oktober 1949 negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berdiri sebagai akibat kemenangan kaum komunis terhadap Koumintang. Tugas Amerika Serikat dan sekutunya dalam hal membendung komunisme bertambah berat. Untuk membendung komunisme dari RRT ini, Amerika Serikat dan sekutunya menganggap perlu membentuk Pakta Pertahanan di Timur. Pada tahun 1954 dibentuklah SEATO (Southeast Asia Treaty Organization), sebuah kekuatan pertahanan militer di Asia Tenggara beranggotakan Amerika Serikat, Inggeris, Perancis, Australia dan Selandia Baru serta negara-negara Asia: Filipina, Thailand dan Pakistan. Dalam hal ini, Indonesia menolak pembentukan pakta militer tersebut dan sejak saat ini hubungan Indonesia-Amerika Serikat mendingin, meskipun tidak bermusuhan. Pada saat bersamaan pertentangan dua kekuatan antara Barat dan Timur semakin memuncak, hal tersebut terlihat dari pecahnya Perang Korea (1950-1953), Pemisahan Berlin dengan tembok (Agustus 1961), Krisis Kuba (1961-1962).

Di dalam situasi Dunia yang tidak menentu ini, Indonesia lalu memprakarsai Konferensi Asia Afrika pada tanggal 18 April 1955 di Bandung dan pada akhirnya menjadi landasan buat negara-negara yang tidak memihak ke Barat atau ke Timur, mendirikan sebuah gerakan bernama: Gerakan Non-Blok di Beograd tahun 1961. Pada saat bersamaan, bulan Mei 1955, Uni Soviet dan sekutunya membentuk pula sebuah pertahanan militer bernama Pakta Warsawa.

Perkembangan di luar negeri berpengaruh besar terhadap perkembangan di dalam negeri Indonesia, begitu pula sebaliknya. Munculnya PKI, setelah Hatta sebagai Wakil Presiden RI mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No.X (huruf eks, bukan angka 10 hitungan Romawi, tetapi abjad ke-24) dan ditindaklanjuti dengan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 menjadi perhatian Amerika Serikat dan sekutunya. Apalagi secara tak terduga. di dalam Pemilihan Umum pertama di Indonesia pada tanggal 29 September 1955, yang hasilnya baru diumumkan tanggal 1 Maret 1956, PKI berhasil menduduki posisi ke-empat dalam jumlah pengumpulan suara untuk Parlemen/DPR (16,3 persen), setelah PNI (22,1 persen), Masyumi (20,9 persen) dan NU (18,4 persen).

Ketika Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) menyatakan berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 15 Februari 1958, Amerika Serikat mulai ikut membantu PRRI dengan persenjataan. Pada saat ini dikerahkan Armada Ketujuh Pasifik Amerika Serikat dengan membentuk Satgas 75 yang ditempatkan di Singapura. Dalam hal ini Menteri Luar Negeri PRRI Kolonel Maludin Simbolon pernah disarankan pihak Amerika Serikat untuk meledakkan instalasi tambang minyak Caltex di Riau agar ada alasan Armada VII Amerika Serikat mendaratkan pasukan marinirnya. Tetapi ditolak Maludin Simbolon karena dia tidak menghendaki Indonesia mengalami seperti yang terjadi di Korea Utara dan Korea Selatan atau "balkanisasi" negara dan bangsanya./foot note: Payung Bangun, Kolonel Maludin Simbolon, Liku-liku Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal.257. Pemisahan PRRI ini tidak terlepas dari mundurnya Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 1 Desember 1956. Sejak saat ini PKI semakin leluasa mempengaruhi Bung Karno. Buktinya, ketika pada 21 Februari 1957, pukul 20.05, Bung Karno berpidato di Istana Merdeka dan secara terus terang mengatakan bahwa dirinya menginginkan agar kaum komunis ikut serta di dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pidato Soekarno tersebut sangat mengejutkan berbagai pihak, terutama kelompok-kelompok yang sejak awal tidak menghendaki kehadiran PKI di Indonesia, terutama kelompok militer. Soekarno mengatakan :
"Yah. Saya tahu saudara-saudara misalnya terhadap PKI ada beberapa saudara-saudara atau pihak yang keberatan dia duduk dalam kabinet. Saya bertanya dengan setenang-tenangnya, saudara, apakah kita dapat terus menerus mengabaikan satu golongan yang di dalam pemilu mempunyai suara enam juta manusia ? Sungguh. saudara-saudara, saya tidak memihak. Saya sekedar menghendaki adanya perdamaian nasional. Saya sekedar ingin mengadakan cara pemerintah gotong royong dengan tidak memihak sesuatu pihak."/foot note: Presiden Soekarno, Menyelamatkan Republik Proklamasi Konsepsi Bung Karno. Catatan Stenografis dari Pidato Presiden Soekarno tanggal 21 Februari 1957 jam 20.05 di Istana Merdeka (Jakarta: Kementerian Penerangan RI, 1957), hal.13

Oleh karena itu, adalah hal wajar apabila Amerika Serikat dan sekutunya sejak awal mengamati perkembangan di Indonesia. Kegigihan Amerika Serikat membendung komunisme di Asia Tenggara dengan menggelorakan bahkan memperluas Perang Vietnam sampai ke Laos dan Kamboja, yang ditentang keras oleh Indonesia, menjadi salah satu bukti ada keterkaitan pihak Amerika Serikat dengan Indonesia di era "Perang Dingin" tersebut. Apalagi setelah Indonesia membentuk poros Jakarta-Phnom Penh- Hanoi-Beijing-Pyongyang yang sudah dianggap oleh Amerika Serikat bahwa Indonesia semakin masuk ke kubu Komunisme yang justru adalah musuh utama negara adidaya itu. Tetapi bagaimana pun juga kita kembali ke konsep semula. Sebagai seorang ilmuwan yang berpikir untuk bangsanya, perlu adanya sebuah kejujuran dibalik peristiwa apa pun yang melatar belakanginya. Konsep seorang ilmuwan sangat jelas, yaitu berkeinginan melihat sejarah sebuah bangsa tidak dimanipulasi oleh kepentingan-kepentingan sesaat, termasuk di dalam hal melihat Sejarah Supersemar. Oleh Karena itu perlu kiranya kita menemukan sumber asli Supersemar tersebut.

Orde Baru adalah pemenang atas Orde Lama. Dan karena itu merekalah yang berhak menulis ulang sejarah. Selama 32 tahun kita dicekoki indoktrinasi bahwa Soeharto dan Orde Baru-nya adalah penyelamat bangsa dari kebobrokan Soekarno dengan Orde Lama-nya. Sebagian klaim itu mungkin benar, terutama dari segi ekonomi. Tapi dari segi lainnya, tentu kita bisa lebih mempertanyakannya. Dan hari ini, adalah tonggak sejarah yang selama 32 tahun masa kekuasaan Orde Baru diperingati sebagai hari istimewa. Anda semua pasti sudah tahu, inilah tanggal sebelas Maret. Hari lahirnya Supersemar. Akronim yang bagus untuk Surat Perintah Sebelas Maret. Kata “Semar” mengacu pada pengejawantahan dewa tertinggi yang banyak dipuja masyarakat Jawa, termasuk Soeharto. Supersemar adalah sejarah. Hanya saja sejarah yang digelapkan. Banyak kejanggalan seputar kemunculannya. Oleh Soeharto Supersemar dipakai sebagai alat mengambil alih kekuasaan Soekarno. Demikian pula dengan Supersemar Soeharto membasmi lawan-lawan politiknya dengan mudah. Sementara Soekarno yang tahu dirinya tertipu, konon segera mengeluarkan Surat Perintah 12 Maret, sayang tidak pernah keluar dari tembok istana. Ia juga sempat berpidato pada peringatan 17 Agustus 1966 yang menyatakan “Surat Perintah 11 Maret bukanlah pengalihan kekuasaan”. Tapi, kekuatan politiknya sudah habis. Ia tidak lagi punya kuasa menghentikan Soeharto yang konon direstui oleh pihak asing. Dan Soekarno pun habis. Ia dilucuti kekuasaanya meski secara de jure masih menjabat Presiden hingga Maret 1967. Tapi de facto ia tak lagi punya wewenang. Soeharto menamakan dirinya “Pejabat Presiden” sebagai “Pengemban Supersemar”, dan terus melanggengkan kekuasaannya dengan kontrol ketat terhadap politik dan demokrasi. Sementara Soekarno dikenakan tahanan rumah hingga meninggalnya pada 21 Juni 1970 dalam kondisi terisolir. Supersemar terus menjadi misteri karena selain terdapat aneka versi kemunculannya, juga keberadaannya yang misterius hingga kini. Satu per satu orang-orang yang terlibat dalam perilisan dokumen penting itu telah meninggal dunia. Yang terakhir justru Soeharto sendiri. Tiga orang jenderal yang menemui Soekarno di Istana Bogor dan memintanya menandatangani Supersemar –konon dengan paksaan- telah lebih dulu meninggal dunia. Mereka adalah M.Jusuf, Amir Machmud, dan Basuki Rachmat. Masih konon lagi, menurut Soekardjo Wilardjito mantan anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden Soekarno, ada satu nama lagi yaitu M.Panggabean. Tapi sejarah ‘resmi’ hanya menyebut tiga nama pertama. Resmi atau tidak, yang jelas hingga kini keberadaan Supersemar masih gelap. Apalagi kisah di balik kemunculannya, meski prolog dan epilog secara umum sudah diketahui. Inilah salah satu aib republik, membiarkan sejarah yang digelapkan menjadi narasi sejarah resmi negara. Maka, meminjam istilah Derrida, narasi besar bangsa ini adalah narasi kepalsuan.

Minggu, 08 Januari 2012

REVOLUSI HIJAU DI INDONESIA


NAMA            : Ali Topan
NPM               : 090402003
M.K                 : Sejarah Pertanian
JUDUL             : Revolusi Hijau
DOSEN            : Rudi Irawan, S.Pd, M.Pd

Tujuan pembangunan nasional pada masa Orde Baru adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur, material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan dilaksanakan dengan bertahap dan berkesinambungan. Di antaranya adalah program Pelita atau Pembangunan Lima Tahun. Pelita dilaksanakan sebanyak 6 kali. Pada akhir Pelita IV dicapai hasil-hasil seperti Swasembada Pangan, Program Keluarga Berencana (KB), dan Pembangunan Perumahan.
Pada masa Orde Baru sebagai Orde Pembangunan terus meningkatkan modernisasi, antara lain dengan modernisasi di bidang pertanian (Revolusi Hijau).
Salah satu masalah yang dihadapi oleh pemerintah Orde Baru adalah produksi pangan yang tidak seimbang dengan kepadatan penduduk yang terus meningkat. Oleh karena itu pemerintah Orde Baru memasukkan Revolusi Hijau dalam program Pelita. Revolusi Hijau ini dilaksanakan secara nasional. Apa sih Revolusi Hijau itu? Revolusi Hijau adalah perubahan besar berkaitan dengan soal penggarapan tanah dan pertanian
.

A.Revolusi Hijau
Teknologi genetika memicu terjadinya Revolusi Hijau (green revolution) yang sudah berjalan sejak 1960-an. Dengan adanya Revolusi Hijau ini terjadi pertambahan produksi pertanian yang berlipat ganda sehingga tercukupi bahan makanan pokok asal serealia.
Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Grakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras.
Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara – negara berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rejim Orde Baru berkuasa.  Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989.  Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan.  Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965. Pertanian revolusi hijau juga dapat disebut sebagai kegagalan karena produknya sarat kandungan residu pestisida dan sangat merusak ekosistem lingkungan dan kesuburan tanah.

B.Pestisida dan Pupuk Buatan
Pestisida telah lama diketahui menyebabkan iritasi mata dan kulit, gangguan pernapasan, penurunan daya ingat, dan pada jangka panjang menyebabkan kanker. Bahkan jika ibu hamil mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung residu pestisida, maka janin yang dikandungnya mempunyai risiko dilahirkan dalam keadaan cacat. Penggunaan pestisida juga menyebabkan terjadinya peledakan hama —suatu keadaan yang kontradiktif dengan tujuan pembuatan pestisida— karena pestisida dalam dosis berlebihan menyebabkan hama kebal dan mengakibatkan kematian musuh alami hama yang bersangkutan.
Namun, mitos obat mujarab pemberantas hama tetap melekat di sebagian petani. Mereka tidak paham akan bahaya pestisida. Hal ini disebabkan karena informasi yang sampai kepada mereka adalah ‘jika ada hama, pakailah pestisida merek A’. para petani juga dibanjiri impian tentang produksi yang melimpah-ruah jika mereka menggunakan pupuk kimia. Para penyuluh pertanian adalah ‘antek-antek’ pedagang yang mempromosikan keajaiban teknologi modern ini. Penyuluh pertanian tidak pernah menyampaikan informasi secara utuh bahwa pupuk kimia sebenarnya tidak dapat memperbaiki sifat-sifat fisika tanah, sehingga tanah menghadapi bahaya erosi. Penggunaan pupuk buatan secara terus-menerus juga akan mempercepat habisnya zat-zat organik, merusak keseimbangan zat-zat makanan di dalam tanah, sehingga menimbulkan berbagai penyakit tanaman. Akibatnya, kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan pupuk buatan dari tahun ke tahun terus menurun.

C.Revolusi Hijau dan Dampak Buruknya
Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Memang Revolusi Hijau telah menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat. Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian.
Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani sebagai predator hama tertentu. Disamping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung meningkat. Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan melemahkan kegairahan bertani.
Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah. Namun berakibat:
Berbagai organisme penyubur tanah musnah
·         Kesuburan tanah merosot / tandus
·         Tanah mengandung residu (endapan pestisida)
·         Hasil pertanian mengandung residu pestisida
·         Keseimbangan ekosistem rusak
·         Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama.
Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Petani merupakan komunitas mandiri. Namun dalam revolusi hijau, petani tidak boleh mem-biakkan benih sendiri. Bibit yang telah disediakan merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia —yang membuat banyak petani terlilit hutang. Akibat terlalu menjagokan bibit padi unggul, sekitar 1.500 varietas padi lokal telah punah dalam 15 tahun terakhir ini.
Meskipun dalam Undang-Undang No. 12/1992 telah disebutkan bahwa “petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi-dayaannya”, tetapi ayat tersebut dimentahkan lagi oleh ayat berikutnya, yakni “petani berkewajiban berperan serta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanam” (program pemerintah). Dengan begitu, kebebasan petani tetap dikebiri oleh rezim pemerintah.
Dapat dipastikan bahwa Revolusi Hijau hanya menguntungkan para produsen pupuk, pestisida, benih, serta petani bermodal kuat. Revolusi Hijau memang membuat hasil produksi pertanian meningkat, yang dijadikan tolak ukur sebagai salah satu keberhasilan Orde Baru. Namun, di balik itu semua, ada penderitaan kaum petani. Belum lagi kerusakan sistem ekologi pertanian yang kerugiannya tidak dapat dinilai dengan uang.
Mitos akan kehebatan Revolusi Hijau lahir karena ditopang oleh teknologi yang dikembangkan dari sistem ilmu pengetahuan modern, mulai dari genetika sampai kimia terapan. Pantas jika Masanobu Fukuoka, pelopor pertanian alami di Jepang, pernah berkata: “Peranan ilmuwan dalam masyarakat itu analog dengan peranan diskriminasi di dalam pikiran-pikiran Anda sendiri.”. Telah terbukti bahwa penerapan Revolusi Hijau di Indonesia memberi dampak negatif pada lingkungan karena penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Dan Revolusi Hijau di Indonesia tidak selalu mensejahterakan petani padi
Salah satu masalah yang dihadapi oleh pemerintah Orde Baru adalah produksi pangan yang tidak seimbang dengan kepadatan penduduk yang terus meningkat. Oleh karena itu pemerintah Orde Baru memasukkan Revolusi Hijau dalam program Pelita. Revolusi Hijau ini dilaksanakan secara nasional. Apa sih Revolusi Hijau itu? Revolusi Hijau adalah perubahan besar berkaitan dengan soal penggarapan tanah dan pertanian.
Ø  Dampak positif Revolusi Hijau di Indonesia :
a)      Meningkatkan produktivitas tanaman pangan.
b)      Peningkatan produksi pangan menyebabkan kebutuhan primer masyarakat industri menjadi terpenuhi.
c)      Indonesia berhasil mencapai swasembada beras.
d)      Kualitas tanaman pangan semakin meningkat.
Ø  Dampak negatif Revolusi Hijau di Indonesia antara lain :
a.      Penggunaan pupuk buatan dan pwstisida secara berlebihan akan mengakibatkan lahan pertanian menjadi tidak subur lagi.
b.      Berkurangnya keanekaragaman genetic jenis tanaman tertentu yang disebabkan oleh penyeragaman jenis tanaman tertentu yang dikembangkan.
c.       Adanya mekanisme pertanian mengakibatkan cara bertani tradisional menjadi terpinggirkan.
d.      Rasa kegotongroyongan semakin menurun.
e.      Hasil panen dari beberapa kawasan Revolusi Hijau mengalami
penurunan.

Pada dasarnya kebijakan-kebijakan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Presiden Soeharto pun mendapatkan gelar Bapak Pembangunan karena berhasil mewujudkan pembangunan nasional. Pembangunan nasional pada masa ini juga menimbulkan sisi negative yang ditandai dengan munculnya gejala crony capitalism yaitu istilah yang merujuk pada kapitalis-kapitalis yang melingkari pemerintahan Orde Baru berdasarkan asas-asas kekerabatan. Adanya crony capitalism tersebut telah memunculkan ketidakmerataan ekonomi yang imbasnya dirasakan masyarakat terutama kelas menengah ke bawah. Kondisi tersebut memunculkan penyakit sosial yang menghinggapi elemen pemerintahan dan masyarakat yang kemudian dikenal dengan praktik KKN.

D. Perkembangan Revolusi Hijau, Teknologi Dan Industrialisasi
Kebijakan modernisasi pertanian pada masa Orde baru dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau.
Revolusi Hijau merupakan perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional ke cara modern.
Revolusi Hijau (Green Revolution) merupakan suatu revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan-penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari berbagai varietas, gandum, padi, dan jagung yang mengakibatkan tingginya hasil panen komoditas tersebut.
Tujuan Revolusi hijau adalah mengubah petani-petani gaya lama (peasant) menjadi petani-petani gaya baru (farmers), memodernisasikan pertanian gaya lama guna memenuhi industrialisasi ekonomi nasional. Revolusi hijau ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan para petani pada cuaca dan alam karena peningkatan peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam peningkatan produksi bahan makanan.
Latar belakang munculnya revolusi Hijau adalah karena munculnya masalah kemiskinan yang disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat tidak sebanding dengan peningkatan produksi pangan. Sehingga dilakukan pengontrolan jumlah kelahiran dan meningkatkan usaha pencarian dan penelitian binit unggul dalam bidang Pertanian. Upaya ini terjadi didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Thomas Robert Malthus.
Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menggalakan revolusi hijau ditempuh dengan cara :
1.     Intensifikasi Pertanian
Intensifikasi Pertanian di Indonesia dikenal dengan nama Panca Usaha Tani yang meliputi :
a.      Pemilihan Bibit Unggul
b.      Pengolahan Tanah yang baik
c.       Pemupukan
d.      Irigasi
e.      Pemberantasan Hama
2.     Ekstensifikasi Pertanian
Ekstensifikasi pertanian, yaitu  Memperluas lahan tanah yang dapat ditanami dengan pembukaan lahan-lahan baru (misal mengubah lahan tandus menjadi lahan yang dapat ditanami, membuka hutan, dsb).
3.     Diversifikasi Pertanian
Usaha penganekaragaman jenis tanaman pada suatu lahan pertanian melalui sistem tumpang sari. Usaha ini menguntungkan karena dapat mencegah kegagalan panen pokok, memperluas sumber devisa, mencegah penurunan pendapatan para petani.
4.     Rehabilitasi Pertanian
Merupakan usaha pemulihan produktivitas sumber daya pertanian yang kritis, yang membahayakan kondisi lingkungan, serta daerah rawan dengan maksud untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah tersebut. Usaha pertanian tersebut akan menghasilkan bahan makanan dan sekaligus sebagai stabilisator lingkungan.

E. Pelaksanaan Penerapan Revolusi Hijau:
Pemerintah memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada petani.
Kegiatan pemasaran hasil produksi pertanian berjalan lancar sering
perkembangan teknologi dan komunikasi.
Tumbuhan yang ditanam terspesialisasi atau yang dikenal dengan monokultur,
yaitu menanami lahan dengan satu jenis tumbuhan saja.
Pengembangan teknik kultur jaringan untuk memperoleh bibit unggul yang
diharapkan yang tahan terhadap serangan penyakit dan hanya cocok ditanam di
lahan tertentu.
Petani menggunakan bibit padi hasil pengembagan Institut Penelitian Padi
Internasional (IRRI=International Rice Research Institute) yang bekerjasama
dengan pemerintah, bibit padi unggul tersebut lebih dikenal dengan bibit IR.
Pola pertanian berubah dari pola subsistensi menjadi pola kapital dan
komersialisasi.
Negara membuka investasi melalui pembangunan irigasi modern dan
pembagunan industri pupuk nasional.
Pemerintah mendirikan koperasi-koperasi yang dikenal dengan KUD (Koperasi
Unit Desa).