Oleh : Dasman Djamaluddin
Mantan Presiden RI kedua Soeharto yang wafat
pada hari Ahad, 27 Januari 2008, memunculkan berbagai polemik sekitar
pemerintahannya selama 32 tahun. Banyak di antaranya mendukung, tetapi banyak
pula yang mengecam. kita berharap kepergian Soeharto merupakan awal dari
terbukanya tabir kegelapan sejarah bangsa Indonesia yang selama ini
ditutup-tutupi.
Kepergian orang nomor satu di Indonesia tersebut mendapat tempat yang istimewa di berbagai media massa. Ini membuktikan, lengsernya Soeharto sebagai seorang Presiden pada 21 Mei 1998 tidak memudarkan pengaruh yang telah dibinanya selama ini, karena hingga menghembuskan nafas terakhirnya, masih banyak para pejabat atau mantan pejabat dalam dan luar negeri berkunjung ke rumahnya di Jalan Cendana.
Selain itu, keterkaitan Soeharto dengan hilangnya Supersemar tidak dapat diragukan, karena naskah asli tersebut dipegang oleh beliau :
"Naskah asli Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) yang tidak diketahui keberadaannya selama 40 tahun saat ini berada
di tangan mantan Presiden Soeharto," ujar Wakil Presiden (Wapres) Jusuf
Kalla dalam sambutannya pada peluncuran buku memoir Jenderal M.Jusuf
Panglima para Prajurit di Jakarta, Jumat malam (10 Maret) 2006. foot
note : "Naskah asli Supersemar Dipegang Soeharto," Media
Indonesia (Sabtu, 11 Maret 2006): 12 Kepergian Soeharto seakan-akan telah
diatur sebelumnya, karena hari wafatnya berselang tidak lama dengan tahun
peringatan ke-42 lahirnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar/ 11 Maret 1966-11
Maret 2008) yang merupakan titik tolak seorang anak dari Desa Kemusuk (Jawa
Tengah) itu menapak langkahnya menjadi Presiden
Hari ini dengan diselenggarakannya Seminar Nasional bertema: "Implikasi Wafatnya Soeharto terhadap Kebenaran Sejarah Supersemar," juga merupakan langkah terpuji buat seorang ilmuwan untuk mengkaji lebih mendalam tentang kebenaran sejarah 42 tahun lalu. Tujuannya antara lain untuk kepentingan umum. Ini pula yang dimaksud oleh Vaclav Havel (foot note: Vaclav Havel adalah Presiden Pertama dan terakhir Republik Cekoslovakia sesudah tahun 1989. Dia bukan berasal dari politikus, tetapi dari seorang seniman, penulis dan lakon teater yang berhasil mengantar rakyatnya membuang sistem komunis. Tetapi tidak lama kemudian dia sangat kecewa dengan hasil referendum di mana rakyatnya terpecah menjadi dua, bergabung dengan Ceko dan Slovia) bahwa seorang ilmuwan tugasnya adalah membaktikan hidupnya untuk berpikir demi kepentingan umum dan bahkan menafikan kepentingan pribadinya. Jika seseorang sudah lebih banyak memikirkan dirinya sendiri dan mengabaikan kepentingan umum, maka boleh jadi keilmuawan seseorang tersebut perlu diragukan, karena biasanya seorang ilmuwan atau juga disebut dengan intelektual, cendekiawan atau cerdik pandai mempraktikan hidup dalam kesederhanaan, jujur dan rela berkorban. Sehingga seorang cendekiawan, agamawan dan seniman di dalam menjalankan fungsinya masing-masing punya getaran gelombang yang sama.
Mempelajari dan menggali sejarah masa lalu buat seorang ilmuwan tidak mudah. Dia dihadapkan dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan dari mana sumber bahan penulisannya diperoleh. Kalau sumbernya telah ditemukan, maka masih ada sederet pertanyaan yang harus diajukan. Apakah sumber yang diperolehnya itu otentik (asli), apakah sumbernya shahih, sah dan benar (validity), terpercaya, sungguh-sungguh benar (realibility) dan kuat (perihal dapat dipercaya tadi /kredebility) ? Jika hl ini telah terpenuhi, barulah ilmuwan tersebut memenuhi kreteria sebagaimana diungkapkan oleh W.S.Rendra bahwa seorang cendekiawan harus "berumah di angin", tidak mau terikat oleh suatu sistem yang menghalangi kebebasannya.
"Ia harus bebas pula dari ikatan bathin sehingga konsekuen menurut keyakinan intelektualnya dan jangan terjadi sebagaimana Julien Benda katakan sebagai 'pengkhianatan kaum cendekiawan'," ujar W.S.Rendra yang baru saja memperoleh Doktor Kehormatan dari Universitas Gajah Mada (foot note: Dick Hartoko (ed), Golongan Cendekiawan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT.Gramedia, 1980), hal.ix)
Penghilangan Sumber
Sumber sangat penting bagi kemajuan sebuah
bangsa, bahkan maju atau tidaknya peradaban sebuah bangsa ditentukan oleh
sumber-sumbernya. Itulah sebabnya ketika sebuah bangsa berkeinginan
menghancurkan bangsa lainnya, yang dilkukannya pertama kali adalah
menghancurkan kebudayaannya dengan menghancurkan perpustakaan, museum dan
pusat-pusat kesenian lainnya. Atau dengan istilah lain," menghancurkan
peradabannya."
Jika hal tersebut telah dilakukan, maka bangsa tersebut tidak lagi punya harga diri dan tidak punya lagi sumber-sumber kebudayaan yang patut dibanggakannya, sehingga masuklah kebudayaan bangsa si penyerang sebagai pengganti budaya bangsa yang diserang.
Apa yang terjadi di Indonesia di masa Orde Baru--sebuah istilah yang sejak awal tidak saya setujui, karena istilah tersebut berkonotasi merendahkan apa yang telah dihasilkan pemerintahan sebelumnya, Orde Lama--sangat mirip dengan "penghilangan sumber" yang pernah dilakukan bangsa-bangsa terdahulu. Bedanya, di masa Orde Baru "penghilangan sebuah sumber" dilakukan oleh bangsanya sendiri, bukan oleh bangsa lain.
Berbagai penghilangan sumber di masa Orde Baru, salah satunya apa yang pernah diungkapkan oleh Majalah TEMPO, 28 Juli 2002. Majalah tersebut mengungkap penghilangan dokumentasi tentang aktivitas parlemen Indonesia sejak era Konstituante hingga MPRS. Dokumen ini dimusnahkan pemerintah Orde Baru. Buku yang diterbitkan sebnyak 120 jilid, berjudul Laporan MPRS 1966-1972 tidak lagi kita temukan di perpustakaan-perpustakaan sebagai pusat kebudayaan bangsa untuk mencerdaskan generasi penerus, begitu pula di Arsip Nasional. Pada tahun 1972, pemerintah melarang peredaran buku tersebut dan buku yang berhasil ditemukan dibakar.
"Abdul Kadir Besar, sejumlah pengurus MPRS, dan pengelola Percetakan Siliwangi malah sempat diinterogasi. Tudingannya seram, membocorkan rahasia negara. Pak Nasution dicekal dari tahun 1972 sampai 1993, sejak itu, penjagaan dan fasilitas ditarik. Bahkan air PAM di rumah dicabut. Setiap hari intelijen mengamati kami. Semua yang dekat-dekat Pak Nas akan dibikin susah, sehingga orang takut datang. Yang setia adalah Surono dan Wiyogo Admodarminto, Soepardjo Roestam juga pernah datang, tapi cuma sebentar, lalu pergi. Yang lain menjauh. Seolah-olah kami ini penderita lepra. Sewaktu Adam Malik meninggal, Bapak datang. Tiba-tiba ada tentara yang menarik Bapak dan menyuruh mundur dengan cara yang tidak sopan. Kurang ajar sekali mereka," ujar isteri Pak Nasution, Yohana Sunarti Nasution.
Selanjutnya Bu Nas mengatakan:
"Pak Nas bilang sudah memaafkan
Pak Harto. Cuma ada satu orang yang tidak mau dia maafkan. Tapi saya tak akan
bilang siapa. Bapak bilang TNI sudah meninggalkan tugas seharusnya. TNI
harusnya dekat dengan rakyat, bukan ikut memeras rakyat. Mengapa sekarang jadi
begini ? TNI sekarang masuk ke segala peran. Orang jadi mempermasalahkan Pak
Nas sebagai penggagas dwi fungsi. Padahal dwifungsi yang dilakukan Pak Harto
bukan yang dimaksud Pak Nas. Prinsipnya TNI punya hak juga di negeri ini. Tapi
jangan di semua tempat."
Selain itu, tidak ditemukannya naskah pidato
Presiden Soekarno pada bulan Mei 1966 di Sekretariat Negara, juga menjadi tanda
tanya. Hal ini terungkap dari pernyataan Asvi Warman Adam, Sejarawan dan
Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoneisa (LIPI) di dalam kata
pengantar buku: Revolusi Belum Selesai.
Buku yang diterbitkan dalam dua jilid itu berisi kumpulan sebagian pidato Presiden Soekarno, yang dimulai sejak pasca peristiwa Gerakan 30 September. Mengherankan, pidato politik yang disampaikan sebanyak 103 kali tersebut tidak memperoleh tanggapan dari rakyatnya. Majalah TEMPO memberi perhatian besar terhadap terbitnya buku tersebut dan berkomentar:
Buku yang diterbitkan dalam dua jilid itu berisi kumpulan sebagian pidato Presiden Soekarno, yang dimulai sejak pasca peristiwa Gerakan 30 September. Mengherankan, pidato politik yang disampaikan sebanyak 103 kali tersebut tidak memperoleh tanggapan dari rakyatnya. Majalah TEMPO memberi perhatian besar terhadap terbitnya buku tersebut dan berkomentar:
"...pidato itu juga melukiskan kesunyian seorang Bung Besar. Perintahnya tak dituruti, pidatonya hanya menjadi kembang api, membuncah lalu hilang bersama malam. Hampir dua tahun suara Bung Karno nyaris tidak terdengar. Ia seperti tokoh dalam novel Gabriel Garcia Marquez, lelaki yang melewati waktunya dalam 100 tahun kesendirian."
Sepertinya penghilangan dokumen masih saja terjadi hingga sekarang. Baru-baru ini, hilangnya berkas penyelidikan pro justia kasus pelanggaran hak asasi manusia berat dalam tragedi Trisakti tahun 1998, Semanggi I dan Semanggi II, serta peristiwa penghilangan orang yang ada di Kejaksaan Agung, sungguh disesalkan.
Peranan TNI
Orde Baru juga disebut kemenangan TNI (dulu
istilahnya ABRI) terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), karena pada Masa
Sistem Politik Demokrasi Terpimpin, golongan militer tidak mendapat kesempatan
lebih besar dalam kegiatan politik. Peranan militer semakin jelas terlihat
ketika sedang membahas konsep Orde Baru di dalam Seminar Angkatan darat (AD) II
1966 yang berlangsung di Graha Wiyata Yudha, Seskoad Bandung, 25 - 31 Agustus
1966. Wlaupun terdapat kalangan sipil, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Tujuan seminar
pada waktu itu adalah untuk mengoreksi total serbagai ketimpangan-ketimpangan
di masa Orde Lama. Jadi koreksi total adalah semangat Orde Baru.
Sangat jelas, bahwa di saat-saat mendirikan Pemerintahan Orde Baru, peranan TNI khususnya Angkatan Darat sangat besar. Itulah sebabnya mengapa para pelaku sejarah Supersemar adalah dari kalangan militer, termasuk Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat yang bukunya telah diterbitkan thun 1998 dan sebelumnya telah memperoleh persetujuan keluarga untuk ditulis pada tanggal 7 November 1996.
Pada masa Orde Baru, TNI tidak hanya
berpengaruh terhadap salah satu partai politik saat itu (Golkar), walaupun saat
itu enggan disebut sebuah partai, tetapi juga terhadap posisi TNI yang secara
terang-terangan berada di lingkaran kekuasaan. TNI tidak hanya menunjukkan
pengaruhnya di pemerintahan, tetapi di parlemen berlaku aturan-aturan khusus
untuk TNI. Hal tersebut dinyatakan dengan tegas dalam Sidang Pleno Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) pada bulan Februari 1967, di mana
Fraksi ABRI mengemukakan, bahwa ikut sertanya ABRI dalam politik adalah suatu
keharusan dalam kehidupan sistem politik di Indonesia. Dengan dalih menjaga
kekompakan, maka masuknya wakil-wakil ABRI dalam badan perwakilan haruslah
dengan pengangkatan. Sehingga Soeharto di masa Orde Baru memegang tiga wewenang
sekaligus. Dia adalah Panglima Tertinggi ABRI, Kepala Eksekutif dan Ketua Dewan
Pembina Golkar.
Tetapi bagaimana selanjutnya ? Pada satu sisi
Pemerintahan Orde Baru berkeinginan mengoreksi total berbagai
ketimpangan-ketimpangan di masa Orde Lama, tetapi pada saat bersamaan pula
pemerintah Orde Baru juga membuat kekeliruan di dalam menjalankan roda
pemerintahan selama 32 tahun.
Pertama, di dalam hal membuabarkan sebuah
partai, yaitu PKI. Soeharto tidak mengacu kepada penetapan Presiden Republik
Indonesia No.7 tahun 1959 yang masih berlaku saat itu. Di mana di dalam pasal 9
ayat 1 nya dinyatakan bahwa :
Presiden, sesudah mendengar MA dpat melarang dan/atau membubarkan partai yang:
1. Bertentangan dengan azas dan tujuan Negara
Presiden, sesudah mendengar MA dpat melarang dan/atau membubarkan partai yang:
1. Bertentangan dengan azas dan tujuan Negara
2. Programnya bertentangan dengan azas dan
tujuan Negara
3. Dan melakukan pemberontakan
4. Tidak memenuhi syarat-syarat lain yang
ditentukan.
Dengan ketentuan ini jelaslah bahwa tindakan
Soeharto membubarkan PKI telah menyalahi aturan hukum. Hanya dengan berbekal
Supersemar, Soeharto yang mengatasnamakan Presiden Soekarno dapat membubarkan
sebuah partai, yaitu PKI.
Kedua, Supersemar meningkat menjadi Tap
MPRS sebenarnya menjadi tinggi sekali dan menjadi Sumber Hukum Tata Negara,
tetapi pada dasarnya tidak layak. Supersemar tidak lebih hanyalah merupakan
surat perintah, tidak termasuk di dalam perundang-undangan dan bukan pula suatu
peraturan kebijakan. Jika dinyatakan bahwa Supersemar tersebut tidak perlu
dipersoalkan lagi karena setelah dikeluarkan dan suratnya berlaku selesai,
permasalahannya bukan terletak pada manfaat surat pada saat itu, tetapi kembali
kepada uraian di atas, bahwa bangsa ini setelah masa reformasi tidak hanya
mereformasi peraturan-peraturan atau lembaga-lembaga peraturan, tetapi yang
lebih penting adalah mereformasi budaya hukumnya.
Supersemar muncul dalam ketetapan MPRS
No.XIX/MPRS/1966 tentang Sumber, Tertib Hukum dan Tata Urutan Perundangan RI.
Urutan Sumber Tertib Hukum pada waktu itu adalah: Pancasila, Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Undang-Undang dasar
Proklamasi 1945 dan Surat Perintah 11 Maret 1966.
Selanjutnya terlihat sangat jelas bagaimana
Soeharto sudah dipersiapkan menjadi Presiden. Hal ini dapat dibaca dalam
Ketetapan MPRS No.XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan
Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden. Pada dasarnya dinyatakan bahwa
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politik psychologis, MPRS
menganggap lebih baik tidak mengisi lowongan jabatan Wakil Presiden.
Selanjutnya ditegaskan, oleh karena itu dipandang perlu untuk membuat ketentuan
mengenai pejabat Presiden, apabila Presiden sewaktu-waktu berhalangan, mangkat,
berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya guna menghindarkan kekosongan
dalam Pimpinan Negara dan Pemerintahan.
Ketiga, adanya Surat Perintah Presiden
Soekarno, tanggal 13 Maret 1966 yang tidak diindahkan Soeharto. Surat tersebut
dikeluarkan sebagai koreksi terhadap penyelewengan pelaksanaan Supersemar. Surat
sepanjang satu pragraf itu baru disebarluaskan pada hari Senin, 14 Maret 1966.
Isi surat tersebut diungkapkan kembali dalam pidato Bung Karno pada 17 Agustus
1966. Nasib surat ini sama dengan Supersemar, yaitu "hilang."
Keempat, telah terjadi penangkapan-penangkapan
tanpa prosedur, termasuk penangkapan-penangkapan di jajaran eksekutif (para
menteri Kabinet Dwikora yang tanpa sepengetahuan Bung Karno) dan anggota
legislatif, sehingga memuluskan jalan bagi Soeharto mengemukakan
gagasan-gagasannya. Pembersihan oknum-oknum partai di Parlemen bertujuan untuk
membersihkan orang-orang yang dekat dengan sikap Bung Karno. Praktis di MPRS,
Bung Karno tidak punya kekuatan. Pada komposisi MPRS yng demikian, Sidang
istimewa berlangsung, maka menjadi hal yang sangat wajar bila Pidato
Pertanggungjawaban Bung Karno, berjudul: Nawaksara ditolak.
Pada Sidang Istimewa yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 7-12 Maret 1967 melalui Ketetapan No.XXXIII/MPRS/67, MPRS menetapkan mencabut kekuasaan pemerintah negara dari Presiden Soekarno dan dengan ketetapan yang sama, MPRS mengangkat Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/66, Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
Pada Sidang Istimewa yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 7-12 Maret 1967 melalui Ketetapan No.XXXIII/MPRS/67, MPRS menetapkan mencabut kekuasaan pemerintah negara dari Presiden Soekarno dan dengan ketetapan yang sama, MPRS mengangkat Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/66, Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
"untuk sementara waktu kami
akan memberlakukan beliau sebagai Presiden yang tidak berkuasa lagi, sebagai
Presiden yang tidak mempunyai kewenangan apa pun di bidang politik,kenegaraan
dan pemerintahan." /foot note:
Robert Edward Elson, Suharto Sebuah
Biografi Politik (Suharto: a Political Biography), diterjemahkan oleh
Satrio Wahono dan IG Harimoerti Bagoesoka (Jakarta: Pustaka Minda Utama, 2005),
hal.298-299.
Pertanyaan yang muncul, siapa yang
menandatangani surat keputusan pembentukan Kabinet Ampera yang Disempurnakan,
karena pembentukan kabinet tersebut disebutkan berdasarkan Keputusan Presiden
No.171 tahun 1967, apakah di dalam berbagai peraturan diperbolehkan seorang
pejabat Presiden mengatasnamakan Presiden untuk menandatangani sebuah surat
keputusan atau sejauh manakah sahnya sebuah surat keputusan bila ditandatangani
oleh seorang presiden yang kekuasaannya telah dicopot ?
Jika kita kembali sejenak ke belakang, sejarah
mencatat,bahwa telah terjadi pula berbagai penangkapan anggota PKI dan anggota
organisasi yang terkait. Sampai Oktober 1965, sudah 1.334 orang di wilayah
Jakarta yang ditahan dengan alasan terlibat PKI./foot note: Ibid,
hal.239. Banyak sumber yang memberitakan jumlah pembantaian tahun 1965/1966
terutama di Jawa, Sumatera dan Bali, merupakan jumlah terbesar. Jumlah
pembantaian itu tidak mudah diketahui persis, tetapi dari 39 artikel yang
dikumpulkan Robert Cribb (1990:12), jumlah korban berkisar 78.000 jiwa hingga
dua juta jiwa /foot note: Asvi Warman Adam,"Pembantaian 1965,
Kekerasan Terbesar dan Rekonsiliasi," Kompas (4 Desember 2000): 40.
Selanjutnya Robert Cribb mengatakan bahwa
pembantaian tahun 1965 dilakukan dengan memakai alat sederhana, seperti pisau,
golok dan senjata api. Caranya juga sederhana, tanpa harus terlebih dulu
dimasukkan ke kamar gas seperti dilakukan Nazi. Orang yang akan dieksekusi juga
tidak dibawa jauh-jauh sebelum dibantai,biasanya mereka bunuh di dekat
rumahnya. Ciri lain dari kejadian itu biasanya dilakukan pada malam
hari.Pembunuhan berlangsung relatif cepat, hanya beberapa bulan. Nazi
memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya dalam empat tahun.
Bahkan kasus kekejian tahun 1965 tersebut sempat menjadi perhatian mantan Ibu
Negara Perancis, nyonya Francois Mitterand, yang bersama rombongan menyempatkan
diri mengunjungi Klaten dan menengok lokasi "killing field" (ajang
pembantaian) di daerah sekitar Pandansimping./footnote:Lihat Bernas,
4 September 2000,'Mantan Ibu Negara Perancis ke Klaten Tertarik Cerita
"Killing Field" di Pandansimping. Lihat juga cerpen GM Sudarta, Kompas,
10 Februari 2005.
Pembersihan sisa-sisa PKI tidak hanya di Jawa,
tetapi juga di Sumatera Utara.Pembersihan sisa-sisa PKI dilakukan tanpa
mengindahkan rasa kemanusiaan. Ada nuansa balas dendam politik yang memang tak
terelakkan.Ia menjadi soal, lantaran korban dendam itu tidak hanya dirasakan
oleh mereka yang diduga terlibat G.30.S, teapi juga keturunan mereka. Tidak
cuma antek, tetapi juga keturunan mereka. Tidak cuma anak, tetapi cucu dan
menantu. Stigma PKI khas Orde Baru benar-benar membuat berjuta anak Indonesia
mengalami kematian perdata./foot note: Tim Investigasi,"Sejarah
Hitam Pasca G-30-S, Majalah Tajuk No.23, TH.II (3 Januari 2000):68-71.
Kelima, pers mengalami apa yang dinamakan "pemasungan", sehingga peristiwa-peristiwa pada saat peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto banyak yang tidak diketahui dengan pasti oleh masyarakat. Hal ini terkait dengan peristiwa sebelumnya, di mana pada bulan Februari 1965, Menteri Penerangan Achmadi melarang terbit 21 surat kabar di Jakarta dan Medan karena mendukung Badan Pendukung Soekarno (BPS). Hanya yang leluasa memberitakan peristiwa-peristiwa itu adalah media-media yang sangat dekat dengan kekuasaan militer, seperti Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Kedua surat kabar ini pula yang memberitakan masalah Supersemar. Harian Angkatan Bersenjata memberitakan tanggal 12 Maret 1966 pagi dan sore, anehnya harian itu sudah tahu lebih dahulu tentang Supersemar. Sedangkan Berita Yudha memberitakan tanggal 13 Maret 1966.
Keenam, Soeharto sebagai Menpangad pada waktu itu tidak lagi patuh kepada Presiden Soekarno, sebagaimana diungkapkannya :
"Beliau mempunyai satu pendirian, saya
punya pendirian lain. Tetapi saya tidak menentang begitu saja. Saya sebagai
bawahan, sebenarnya harus taat. Apa yang diperintahkannya seharusnya saya
patuhi. Tetapi saya sebagai pejuang tidak mungkin patuh begitu saja." /foot
note: G.Dwipayana dan Ramadhan, K.H., Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan
Tindakan Saya (Jakarta:PT.Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hal.167.
Sebaliknya Presiden Soekarno, sejak awal telah
menganggap Soeharto sebagai perwira yang "begudul" (kepala batu). Hal
tersebut diungkapkan beliau pada pidato 20 November 1965 di depan ke empat
panglima angkatan di Istana Bogor.
Bung Karno mengatakan bahwa ada perwira yang begudul. "Begudul! Itu apa ? Hei, Bung, apa itu begudul? ya, Kepala Batu. Saya yang ditunjuk MPRS menjadi Panglima Besar Revolusi. Terus terang bukan Soebandrio. Bukan Leimena. Bukan engkau Soeharto, bukan engkau Soeharto..." berbeda dari nama lain, Soeharto disebut dua kali secara berturut./foot note: Setiyono, loc.cit.
Bung Karno mengatakan bahwa ada perwira yang begudul. "Begudul! Itu apa ? Hei, Bung, apa itu begudul? ya, Kepala Batu. Saya yang ditunjuk MPRS menjadi Panglima Besar Revolusi. Terus terang bukan Soebandrio. Bukan Leimena. Bukan engkau Soeharto, bukan engkau Soeharto..." berbeda dari nama lain, Soeharto disebut dua kali secara berturut./foot note: Setiyono, loc.cit.
Supersemar dan Perang Dingin
Faktor penting munculnya Supersemar tidak
dapat dilepaskan dari terjadinya "Perang Dingin" antara Amerika
Serikat dengan Uni Soviet. Dimulai dengan konsep pembendungan komunisme melalui
Doktrin Truman (Truman Doctrin) yang diumumkan pada tahun 1947 sebagai
reaksi Amerika serikat terhadap ekspansi komunisme Uni Soviet setelah Perang
Dunia II di Eropa Tengah dan Eropa Timur, dan yang kelihatan akan menjalar ke
wilayah Laut Tengah, termasuk Turki dan Yunani./foot note: Lie Tek
Tjeng, Percaturan Politik Di Kawasan Asia Pasifik Dilihat dari Jakarta
(Jakarta: PT.Karya Unipress, 1983), hal.37
Konsep Doktrin Truman disusul oleh Marshall
Plan yang bertujuan membantu rehabilitasi Negara-negara Eropa yang telah
hancur sebagai akibat Perang Dunia II. Kemudian disusul dengan pembentukan
Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang merupakan persekutuan militer
raksasa Barat untuk membendung komunisme mulai dari Samudera Atlantik sampai ke
Laut Tengah. sasaran utamanya adalah Uni Soviet.
Pada tanggal 1 Oktober 1949 negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berdiri sebagai akibat kemenangan kaum komunis terhadap Koumintang. Tugas Amerika Serikat dan sekutunya dalam hal membendung komunisme bertambah berat. Untuk membendung komunisme dari RRT ini, Amerika Serikat dan sekutunya menganggap perlu membentuk Pakta Pertahanan di Timur. Pada tahun 1954 dibentuklah SEATO (Southeast Asia Treaty Organization), sebuah kekuatan pertahanan militer di Asia Tenggara beranggotakan Amerika Serikat, Inggeris, Perancis, Australia dan Selandia Baru serta negara-negara Asia: Filipina, Thailand dan Pakistan. Dalam hal ini, Indonesia menolak pembentukan pakta militer tersebut dan sejak saat ini hubungan Indonesia-Amerika Serikat mendingin, meskipun tidak bermusuhan. Pada saat bersamaan pertentangan dua kekuatan antara Barat dan Timur semakin memuncak, hal tersebut terlihat dari pecahnya Perang Korea (1950-1953), Pemisahan Berlin dengan tembok (Agustus 1961), Krisis Kuba (1961-1962).
Pada tanggal 1 Oktober 1949 negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berdiri sebagai akibat kemenangan kaum komunis terhadap Koumintang. Tugas Amerika Serikat dan sekutunya dalam hal membendung komunisme bertambah berat. Untuk membendung komunisme dari RRT ini, Amerika Serikat dan sekutunya menganggap perlu membentuk Pakta Pertahanan di Timur. Pada tahun 1954 dibentuklah SEATO (Southeast Asia Treaty Organization), sebuah kekuatan pertahanan militer di Asia Tenggara beranggotakan Amerika Serikat, Inggeris, Perancis, Australia dan Selandia Baru serta negara-negara Asia: Filipina, Thailand dan Pakistan. Dalam hal ini, Indonesia menolak pembentukan pakta militer tersebut dan sejak saat ini hubungan Indonesia-Amerika Serikat mendingin, meskipun tidak bermusuhan. Pada saat bersamaan pertentangan dua kekuatan antara Barat dan Timur semakin memuncak, hal tersebut terlihat dari pecahnya Perang Korea (1950-1953), Pemisahan Berlin dengan tembok (Agustus 1961), Krisis Kuba (1961-1962).
Di dalam situasi Dunia yang tidak menentu ini, Indonesia lalu memprakarsai Konferensi Asia Afrika pada tanggal 18 April 1955 di Bandung dan pada akhirnya menjadi landasan buat negara-negara yang tidak memihak ke Barat atau ke Timur, mendirikan sebuah gerakan bernama: Gerakan Non-Blok di Beograd tahun 1961. Pada saat bersamaan, bulan Mei 1955, Uni Soviet dan sekutunya membentuk pula sebuah pertahanan militer bernama Pakta Warsawa.
Perkembangan di luar negeri berpengaruh besar terhadap perkembangan di dalam negeri Indonesia, begitu pula sebaliknya. Munculnya PKI, setelah Hatta sebagai Wakil Presiden RI mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No.X (huruf eks, bukan angka 10 hitungan Romawi, tetapi abjad ke-24) dan ditindaklanjuti dengan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 menjadi perhatian Amerika Serikat dan sekutunya. Apalagi secara tak terduga. di dalam Pemilihan Umum pertama di Indonesia pada tanggal 29 September 1955, yang hasilnya baru diumumkan tanggal 1 Maret 1956, PKI berhasil menduduki posisi ke-empat dalam jumlah pengumpulan suara untuk Parlemen/DPR (16,3 persen), setelah PNI (22,1 persen), Masyumi (20,9 persen) dan NU (18,4 persen).
Ketika Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) menyatakan berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 15 Februari 1958, Amerika Serikat mulai ikut membantu PRRI dengan persenjataan. Pada saat ini dikerahkan Armada Ketujuh Pasifik Amerika Serikat dengan membentuk Satgas 75 yang ditempatkan di Singapura. Dalam hal ini Menteri Luar Negeri PRRI Kolonel Maludin Simbolon pernah disarankan pihak Amerika Serikat untuk meledakkan instalasi tambang minyak Caltex di Riau agar ada alasan Armada VII Amerika Serikat mendaratkan pasukan marinirnya. Tetapi ditolak Maludin Simbolon karena dia tidak menghendaki Indonesia mengalami seperti yang terjadi di Korea Utara dan Korea Selatan atau "balkanisasi" negara dan bangsanya./foot note: Payung Bangun, Kolonel Maludin Simbolon, Liku-liku Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal.257. Pemisahan PRRI ini tidak terlepas dari mundurnya Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 1 Desember 1956. Sejak saat ini PKI semakin leluasa mempengaruhi Bung Karno. Buktinya, ketika pada 21 Februari 1957, pukul 20.05, Bung Karno berpidato di Istana Merdeka dan secara terus terang mengatakan bahwa dirinya menginginkan agar kaum komunis ikut serta di dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pidato Soekarno tersebut sangat mengejutkan berbagai pihak, terutama kelompok-kelompok yang sejak awal tidak menghendaki kehadiran PKI di Indonesia, terutama kelompok militer. Soekarno mengatakan :
"Yah. Saya tahu saudara-saudara misalnya terhadap PKI ada beberapa saudara-saudara atau pihak yang keberatan dia duduk dalam kabinet. Saya bertanya dengan setenang-tenangnya, saudara, apakah kita dapat terus menerus mengabaikan satu golongan yang di dalam pemilu mempunyai suara enam juta manusia ? Sungguh. saudara-saudara, saya tidak memihak. Saya sekedar menghendaki adanya perdamaian nasional. Saya sekedar ingin mengadakan cara pemerintah gotong royong dengan tidak memihak sesuatu pihak."/foot note: Presiden Soekarno, Menyelamatkan Republik Proklamasi Konsepsi Bung Karno. Catatan Stenografis dari Pidato Presiden Soekarno tanggal 21 Februari 1957 jam 20.05 di Istana Merdeka (Jakarta: Kementerian Penerangan RI, 1957), hal.13
Oleh karena itu, adalah hal wajar apabila
Amerika Serikat dan sekutunya sejak awal mengamati perkembangan di Indonesia.
Kegigihan Amerika Serikat membendung komunisme di Asia Tenggara dengan
menggelorakan bahkan memperluas Perang Vietnam sampai ke Laos dan Kamboja, yang
ditentang keras oleh Indonesia, menjadi salah satu bukti ada keterkaitan pihak
Amerika Serikat dengan Indonesia di era "Perang Dingin" tersebut.
Apalagi setelah Indonesia membentuk poros Jakarta-Phnom Penh-
Hanoi-Beijing-Pyongyang yang sudah dianggap oleh Amerika Serikat bahwa
Indonesia semakin masuk ke kubu Komunisme yang justru adalah musuh utama negara
adidaya itu. Tetapi bagaimana pun juga kita kembali ke konsep semula. Sebagai
seorang ilmuwan yang berpikir untuk bangsanya, perlu adanya sebuah kejujuran
dibalik peristiwa apa pun yang melatar belakanginya. Konsep seorang ilmuwan
sangat jelas, yaitu berkeinginan melihat sejarah sebuah bangsa tidak
dimanipulasi oleh kepentingan-kepentingan sesaat, termasuk di dalam hal melihat
Sejarah Supersemar. Oleh Karena itu perlu kiranya kita menemukan sumber asli
Supersemar tersebut.
Orde Baru adalah
pemenang atas Orde Lama. Dan karena itu merekalah yang berhak menulis ulang
sejarah. Selama 32 tahun kita dicekoki indoktrinasi bahwa Soeharto dan Orde
Baru-nya adalah penyelamat bangsa dari kebobrokan Soekarno dengan Orde Lama-nya.
Sebagian klaim itu mungkin benar, terutama dari segi ekonomi. Tapi dari segi
lainnya, tentu kita bisa lebih mempertanyakannya. Dan hari ini, adalah tonggak
sejarah yang selama 32 tahun masa kekuasaan Orde Baru diperingati sebagai hari
istimewa. Anda semua pasti sudah tahu, inilah tanggal sebelas Maret. Hari
lahirnya Supersemar. Akronim yang bagus untuk Surat Perintah Sebelas Maret.
Kata “Semar” mengacu pada pengejawantahan dewa tertinggi yang banyak dipuja
masyarakat Jawa, termasuk Soeharto. Supersemar adalah sejarah. Hanya saja
sejarah yang digelapkan. Banyak kejanggalan seputar kemunculannya. Oleh
Soeharto Supersemar dipakai sebagai alat mengambil alih kekuasaan Soekarno.
Demikian pula dengan Supersemar Soeharto membasmi lawan-lawan politiknya dengan
mudah. Sementara Soekarno yang tahu dirinya tertipu, konon segera mengeluarkan
Surat Perintah 12 Maret, sayang tidak pernah keluar dari tembok istana. Ia juga
sempat berpidato pada peringatan 17 Agustus 1966 yang menyatakan “Surat
Perintah 11 Maret bukanlah pengalihan kekuasaan”. Tapi, kekuatan politiknya
sudah habis. Ia tidak lagi punya kuasa menghentikan Soeharto yang konon
direstui oleh pihak asing. Dan Soekarno pun habis. Ia dilucuti kekuasaanya
meski secara de jure masih menjabat Presiden hingga Maret 1967. Tapi de facto
ia tak lagi punya wewenang. Soeharto menamakan dirinya “Pejabat Presiden”
sebagai “Pengemban Supersemar”, dan terus melanggengkan kekuasaannya dengan
kontrol ketat terhadap politik dan demokrasi. Sementara Soekarno dikenakan
tahanan rumah hingga meninggalnya pada 21 Juni 1970 dalam kondisi terisolir.
Supersemar terus menjadi misteri karena selain terdapat aneka versi
kemunculannya, juga keberadaannya yang misterius hingga kini. Satu per satu
orang-orang yang terlibat dalam perilisan dokumen penting itu telah meninggal
dunia. Yang terakhir justru Soeharto sendiri. Tiga orang jenderal yang menemui
Soekarno di Istana Bogor dan memintanya menandatangani Supersemar –konon dengan
paksaan- telah lebih dulu meninggal dunia. Mereka adalah M.Jusuf, Amir Machmud,
dan Basuki Rachmat. Masih konon lagi, menurut Soekardjo Wilardjito mantan
anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden Soekarno, ada satu nama lagi
yaitu M.Panggabean. Tapi sejarah ‘resmi’ hanya menyebut tiga nama pertama.
Resmi atau tidak, yang jelas hingga kini keberadaan Supersemar masih gelap.
Apalagi kisah di balik kemunculannya, meski prolog dan epilog secara umum sudah
diketahui. Inilah salah satu aib republik, membiarkan sejarah yang digelapkan
menjadi narasi sejarah resmi negara. Maka, meminjam istilah Derrida, narasi
besar bangsa ini adalah narasi kepalsuan.